Sabtu, 13 Januari 2018

Coffe Pagi

















Sosial media memberi kita kebebasan untuk berexspresi dan berpendapat. Karena sosial media juga kita bisa menjadi sosok yang kreatif, cerdas, dan bisa menginspirasi oranglain. Namun, tidak sedikit yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Kebebasan berpendapat itu seringkali membuat kita salah arah. Banyak diantara kita yang tadinya berteman baik kini menjadi musuh, hanya karena perbedaan dan status golongan.
Sudah tidak aneh, ketika ada suatu kejadian perkara mendadak banyak sekali orang yang menjadi pakar di Sosial Media. Seolah-olah dia yang paling tau, paling mengerti, paling benar, lalu menghakimi dan menyalahkan orang yang tidak sependapat dengan dirinya.
''Orang yang tidak suka makan udang jangan dipaksa makan udang, nanti alerginya kambuh. Artinya kita tidak boleh memaksakan kehendak oranglain untuk mengikuti kemauanmu''
Dulu kalau ada orang yang bersalah dinasehati, dimengertikan, agar yang bersalah lekas taubat ,sadar, lalu memperbaiki kesalahannya. Sekarang kalau ada yang bersalah malah dikucilkan, dicaci maki ditempat umum, dipermalukan, diboikot, dimusuhi, dan tidak sedikit yang dilaporkan ke polisi
Apalagi jika sudah memasuki masa-masa pilkada atau pemilihan presiden. Media sosial menjadi semakin miskin bahasa, cuma punya 2 kosa kata : Membenci atau dipuji, menghujat atau mendukung, iblis atau malaikat.
''Yang di sana menertawakan yang di sini, yang di sini menertawakan yang di sana. Yang di sana doyan fitnah, yang di sini balas memfitnah. Begitu seterusnya, sampai kebencian itu tertanam dalam diri masing-masing. Dan akhirnya masing-masing menjadi setan.''
Tanpa disadari sesungguhnya manusia sedang membinasakan diri sendiri. Orang menjadi gampang tersulut amarah dan mudah tersinggung gara-gara masalah sepele. Rasa empati, toleransi antar umat beragama, dan welas asih itu sepertinya perlahan-lahan mulai menghilang dari Negeri kita tercinta ini.
Dan ketika hati nurani itu hilang
Ketika itulah negara besar itu akan hancur
Manusia diciptakan secara berbeda-beda, tidak mungkin kita menyembah Tuhan dengan cara yang sama, pasti berbeda pula. Ini menandakan bahwa keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua. Menguji agar seberapa banyak kita bisa berkontribusi untuk kebaikan umat manusia dan kemanusiaan.
Percayalah, mumpung kita masih dikasih banyak kesempatan untuk berubah, merubah hidup yang lebih baik dan berkwalitas. Yang beragama Islam, silahkan pergi ke Masjid. Yang beragama Kristen/katolik, silahkan pergi ke Gereja. Yang beragama hindu/budha, silahkan pergi ke wihara/pura. Beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Saya yakin agama tidak mengajarkan keburukan, karena yang mengajarkan keburukan itu bukanlah agama. Mari kita saling hormat dan menghormati, tidak perlu mengkafir-kafirkan, apa yang diyakini akan menjadi bekal masing-masing kelak di hadapan Tuhan.
Mari kita didik anak-anak kita, adik-adik kita dengan akhlaq yang mulia. kita tanamkan nilai-nilai agama untuk membentengi diri mereka, agar menjadi pribadi yang baik dan berani untuk bertanggung jawab. Jangan sampai generasi kita nanti semakin parah dan semakin tidak terkontrol. Lalu terjerumus ke hal-hal yang negative, narkoba,tawuran, free sexs, dan lain sebagainya.
Sudah saatnya generasi kita berubah untuk maju, agar Negara kita tercinta ini menjadi negara yang hebat, disegani, dihormati, dibanggakan, dan tidak selalu dikecilkan oleh Negara lain. Kita ini sudah ketinggalan jauh dari negara lain. Mereka sudah bisa pergi ke luar angkasa, sudah pintar membuat alat-alat canggih untuk kepentingan manusia. Dan kita di sini masih saja ribut! Berkelahi! Saling menghina dan saling mencela.
Mari kita merenung dan INTROPEKSI DIRI. Bersatu dan berkarya, saling bahu membahu, bergotong-royong, dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Demi terciptanya negara INDONESIA yang damai, adil, makmur, dan sejahtera.
Oleh : Satrio Damar Setiadji