Minggu, 15 Maret 2015

Arjuna mencari cinta

Sore ini, Satrio si cowok idaman hati lagi asik matut-matutin diri di depan kaca cermin.

‘’Duuh, penampilan gue sore ini ganteng banget. Beneran! Pake kaos item, jaket item, celana item, pokoknya semuanya serba item. Kecuali color gue yang warnannya agak beda, soalnya luntur gara-gara kebanyakan ngasih bayclinnya.’’   =D :P

Malam minggu, bagi anak muda seperti gue selalu ingin tampil beda seperti yang lain. Jam 5 sore udah pergi mandi, habis mandi dandan habis-habisan, semprot ketek kanan semprot ketek kiri, klo perlu berendem dulu pake air bekas rendeman molto biar wanginya tetep awet. Niatnya sih biar ada yang naksir, siapa tau ada cewek khilaf trus mau jadi pacar gue.

''Asiknya ...'' =D

Emang dasarnya muka gue udah ganteng dari sononya, walaupun ada jerawat segede bola pingpong nangkring di idung gue, tetep aja keliatan keren. Apalagi klo pake kacamata item …

‘’Ck ck ck … copet di pasar pokoknya nyingkir semua, soalnya kalah keren sama penampilan gue.’’   =D :P

Menurut gue, gue ini orangnya baik hati, suka menabung dan tidak sombong. Suka membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Dulu gue pernah nolongin anak kecil yang nyasar di pasar, trus gue anterin anak itu pulang, tapi setelah itu gue sendiri malah kesasar nggak bisa pulang. Gue nangis, mewek di pinggir jalan, untungnya ada pak hansip yang mau nganterin pulang.

''Gua baik, kan?!'' =D

Kadang ngerasa heran, kenapa gue bisa seganteng ini. Mungkin karena factor turunan kali, ya? Atau mungkin juga ketuker sama anak artis pas nglairin gue di rumah sakit?

''Huft, jadi bingung?''

 Daripada pusing mending langsung nanya aja sama emak, siapa tau bisa ngasih jawaban.

‘’Mak, aku ganteng ya, Mak? Ko’ kulitku beda sama emak?! Emang mamak dulu ngidamnya apa?’’

‘’Untumu kuwi sing putih! Lha wong Bapak Mbokmu ireng thunteng ko’ njaluk putih! Karepmu kepiye?!’’ jawab emak sambil nyapu di halaman rumah.   =D :P

‘’Jare kanca-kancaku aku mirip Arjuno lho, Mak?’’ tanyaku lagi.

‘'Yo nek nyoto Arjuno tenan gek diangkati jemuran kae! Selak udan!’’ jawab emak tidak perduliin pertanyaanku.   =D :P

Selesai ngangkatin jemuran aku langsung siap-siap, mumpung masih sore pikirku. Soalnya cewek yang aku taksir rumahnya lumayan jauh. Sebenernya sih baru pedekate, wlopun cuma sebatas esemesan, miss call miss callan, cukuplah membuat hati ini sedikit berbunga-bunga.

''Namanya juga lagi jatuh cinta.''

Ceritanya, seminggu yang lalu pas aku nganter emak ke  pasar. Ada seorang gadis, jalannya cepet banget sambil nenteng barang belanjaannya, sepertinya dia terburu-buru, sampai nggak sengaja nyenggol badanku. Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh, saat aku lihat ternyata sebuah dompet. Reflek aku teriak,

‘’Mbak …!! Mbak dompetnya jatuh! Mbak …!!’’

Gadis itu tetap berjalan cepat tidak mendengar teriakanku. Buru-buru aku pungut dompet itu lalu mengejarnya. Sampai di parkiran motor gadis terlihat kebingungan, seperti sedang mencari-cari sesuatu.

‘’Mbak! Nyari dompet, ya? Ini tadi jatuh. Mbak dipanggil-panggil diem aja!’’ ujarku.

‘’Wah … makasih ya, Mas! Untung untung … banyak surat penting di dalamnya!’’ jawab gadis itu.

‘’Ck .. ck .. ck … ternyata cantik sekali gadis ini.’’ batinku saat menatap wajahnya dari dekat.

Gadis itu mengucap terima kasih berulang-ulang, kemudian mengambil sesuatu dari dalam dompetnya.

‘’Ini, Mas. Buat beli rokok. Mas udah nemuin dompet saya. Coba klo hilang beneran! Pasti saya kebingungan!’’ ujar gadis itu sambil mengulurkan uang di  tangannya.

‘’Maaf Mbak! Saya nggak mau nerima. Beneran … saya tulus nolong, Mbak!’’ jawabku.

‘’Makasih banyak ya, Mas? Ini kartu nama saya. Saya langsung pulang, ya? Soalnya buru-buru!’’ ujarnya lagi kemudian nyalain mesin motornya.

Setelah dia pergi aku pun segera kembali ke tempat parkir motor vespaku, kemudian duduk santai di atas jok motor kesayanganku itu. Pikiranku menerawang, masih teringat gadis cantik itu. Dia memakai hijab warna putih kecoklatan, terlihat anggun sekali. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, gadis tadi memberiku kartu nama.  Saat aku lihat ternyata namanya bagus sekali, ‘Iren Ridyatil jannah’.

Semenjak pertemuan tak terduga itu aku dan dia jadi sering berhubungan meskipun hanya lewat handphone.

''Yah, namanya juga usaha.''

Seperti sore ini, dengan penuh percaya diri aku ingin menyambangi rumahnya, niatnya sih mau ngapel. Kayaknya sih emang udah takdir, lha wong ketemunya aja kayak dicerita sinetron, siapa tau dia itu memang jodohku.

‘’Breeem …

Aku hidupin mesin vespa bututku dan langsung berangkat pergi ke sana. Melaju sangat pelan, menembus keramaian jalan raya, melewati perkampungan, persawahan, tanjakan perbukitan, hingga sampailah di tempat tujuanku ‘Desa Impian’.

‘’Breeem …

Aku hentikan motor vespaku di warung kecil pinggir jalan, sejenak untuk melepas penatku.

‘’Bapak, saya minta Aqua yang dingin satu, ya?’’

‘’Iya, Mas!’’ jawab si penjual warung itu.

‘’Mau nanya, Pak. Rumahnya Iren sebelah mana, ya?’’ tanyaku seusai meneguk air mineral itu.

‘’Iren anaknya Pak Lurah, ya? Itu rumahnya yang di cat putih besar!’’ jawab Bapak penjual warung itu sambil nunjuk ke arah rumah besar yang jaraknya sekitar 50 meter dari sini.

‘’Terima kasih ya,Pak.’’

Aku bayar air mineral yang baru saja aku minum, lalu aku hidupin kembali mesin motor vespaku.

‘’Breeem …

Baru saja mau ngegas tiba-tiba ada mobil berhenti tepat di depan motorku.

‘’Mas! Mas Satrio, ya? Mau ke mana, Mas?!’’ tanya seorang gadis dari dalam mobil.

‘’Ng .. anu .. eh .. kebetulan lewat aja!’’ jawabku setengah kaget setelah tau ternyata orang yang menyapaku itu orang yang mau aku kunjungi.

‘’Hayooo … mau malem mingguan, ya?’’ tanya gadis itu lagi sambil tersenyum.

Aku hanya bisa tersenyum kecut saat melihat ada cowok ganteng duduk di sampingnya. Serasi sekali pikirku, yang cewek cantik yang cowok gagah, pasti dia kekasihnya.

‘’Mau ke mana mereka? Pasti mau malem mingguan.’’ ujarku dalam hati.

‘’Door … Mas …!! Ditanya malah melamun! Mikirin pacarnya, ya? Ya udah aku jalan dulu, ya? Daaa …!!’’

Lagi-lagi aku hanya bisa diam, tersenyum kecut sambil melambaikan tanganku. Aku seperti terpaku di atas jok motorku, masih belum percaya apa yang baru saja aku alami, rasanya sia-sia sudah perjalanan jauhku ini, sungguh sangat menyedihkan. Cinta sejati yang selama ini aku impi-impikan musnah dalam sekejap mata. Aku gagal, aku gagal lagi.

Hari mulai gelap, sepertinya juga mau turun hujan, aku harus buru-buru pergi, aku tak mau berlama-lama di tempat ini, aku ingin cepat pulang.

Perlahan-lahan, dengan sisa-sisa tenagaku aku hidupin kembali mesin vespa bututku.

‘’Breeem …

Vespa bututku pun melaju sangat pelan,  jalannya semakin tersendat-sendat, seakan turut bersedih melihat tuannya sedang berduka. Di sepanjang perjalanan pulang pikiranku tidak menentu, kacau sekali, sepertinya ini perjalanan paling jauh yang pernah aku alami. Tiba-tiba, baru saja mau masuk jalan utama motorku mendadak ngadat,

‘’Breem .. det .. det .. det …

Motorku diam tak bergerak, berulang kali aku selah tetap nggak mau jalan mesinnya. Aku periksa businya baik-baik aja, tapi saat aku periksa bensinnya aku sedikit kecewa, ternyata bensinnya kering kerontang.

‘’Ya Tuhan … cobaan apalagi ini.’’

- Oleh : Satrio ‘si juragan kodhok’

Sabtu, 14 Maret 2015

Pertempuran Hati

Lantunan syair suci-Mu menenggelamkan niat hitamku. Menyusup dan membelai lembut dalam jiwa hampa. Kegelapan memayungi jalanku, aku terperangkap dalam ruang tak bernama. Lirih suara dalam hati meronta, menghantar doa yang tak pernah terjamah olehku.

Serbuk narkoba sialan itu telah menyatu ke dalam darahku. Aku mabuk, tubuhku lunglai, terkapar, dan tidak berdaya.

‘’Hentikan?!’’

‘’Tidaak …!!’’

‘’Hentikan kataku ...?!’’

‘’Aku tidak bisa …!! Setan-setan itu telah menguasaiku. Aku tak tau ke mana lagi arah tujuanku. Aku lelah, semakin jauh aku tersesat, iman yang rapuh, goyah dalam tindakan, gengsi yang slalu menutupi, karena malu untuk mengakui. Aku semakin terpuruk, hidup hanya sebagai benalu. Sampai kapan aku hidup seperti ini?!’’

Lalu, sang angin malam pun menjawab dengan lantang :

‘’Tanyakan saja pada hatimu, bukan dengan insyaf yang hanya isapan jempol belaka. Hidup itu perlu perjalanan, coba tutupi jalan berlubang yang telah engkau lalui itu. Walau tak begitu mulus yang penting ada perubahan.’’

Tidak peduli kau melakukan kesalahan apapun, tidak peduli kau jatuh berapa kali, tidak peduli kau gagal berapa kali. Bangkitlah … jangan terus berada di depan para penakut yang tidak berani melangkah ke depan.

Ayo, jangan menyerah! Bangun lagi dan terus berjalan ke depan!

Sang Malam hanya terdiam membisu, semakin larut, perlahan gerimis bertandang menghampiri jiwa-jiwa yang lesu. Sang angin malam pun kembali berkata :

‘’Betapa banyaknya pemuda pemudi yang tertawa di pagi dan petang hari, padahal kain kafan mereka sedang ditenun dalam keadaan mereka tidak sadar. Kematian datang tidak disangka-sangka, bisa terjadi pada siapa saja, walau umur masih belum seberapa. Sesungguhnya kita semua sedang antri menunggu ajal datang menjemput, berbekallah ketakwaan, jangan menunggu hari esok.

Insyaflah kawan …

‘’Karena sesungguhnya engkau tidak tahu, jika malam telah tiba apakah kau masih bisa (menjamin) hidup hingga pagi hari? Perbanyaklah ibadah dan istighfar di mana pun kamu berada, karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui kapan turunnya ampunan Allah SWT."

- Oleh : Satrio Damar Setiadji

Tema : Narkoba

Jumat, 13 Maret 2015

Teman Kecilku

''Hayooo ... siapa yang mau coklaaat ...?"

''Aku mau … aku mau … aku mauu ...!!''

Anak-anak kecil itu serempak menjawab pertanyaanku, wajah mereka yang polos nampak kegirangan melihat apa yang ada di tanganku.

‘’Eiiit … nyanyi dulu … hayooo … siapa yang berani nyanyi duluan?!’’ tanyaku sambil goyang-goyangin coklat yang ada di tanganku.

‘’Akuuuu …!!’’ tiba-tiba seorang anak kecil berambut keriting maju ke depan.

Namanya Yusuf, dia yang paling kecil diantara teman-teman sepermainannya. Anaknya lucu, setiap kali teman-temannya berebut mainan dia selalu kalah duluan, meskipun begitu anak ini nggak pernah menangis.

‘’Yusuf mau nyanyi apa?’’ tanyaku sambil mengusap-usap rambutnya.

‘’Nama-nama hali, Om!’’ jawabnya dengan suara cadel.

‘’Okaayyy … teman-teman cemua ….kasih tepuk tangan buat Yusuf …!!’’ ujarku sambil memberi aba-aba pada anak-anak yang lainnya.

“Horeee …

‘’Prok … prok … prok …

Suara tepuk tangan anak-anak kecil itu riuh terdengar, membuat suasana sore ini menjadi semakin ramai. Kemudian, aku ambil gitar Ibanez yang berada di sampingku, lalu aku mainin lagu itu dengan tempo sedikit lambat.

♪ ♫ Cenin celasa labu kamis
Jumat cabtu minggu itu nama-nama hali

♪ ♫ Cenin cekulah lekas pintal
Anak yang pemalas tidak naik kelas ♪ ♫

Selesai nyanyi anak kecil itu langsung aku beri coklat,

‘’Telima kacih, Om.’’

Setelah coklat itu berada dalam genggaman tangannya anak itu melompat-lompat kegirangan. Berlarian ke sana ke mari sambil teriak-teriak.

‘’Aku dapat … aku dapat …!!’’

Anak-anak yang lain pun nggak mau kalah, ada yang langsung nyanyi, ada yang joget, ada yang nyanyi garuda pancasila, ada yang baca puisi, pokoknya seru suasana sore ini. Setiapkali selesai bernyanyi tepuk tangan anak-anak itu kembali riuh terdengar. Akhirnya, satu-persatu semua anak-anak itu mendapat coklat bagiannya.

‘’Om?!’’ tanya Yusuf yang berdiri tidak jauh dari tempat dudukku. Bibirnya terlihat belepotan coklat.

‘’Iya, Dek. Kamu mau nyanyi lagi?!’’ jawabku.

‘’Cini, Om! Aku bicikin!’’ ujar anak itu sambil melambaikan tangannya.

‘’Iya, kenapa?!’’ jawabku sedikit heran.

Aku dekati anak kecil itu, kemudian mendekatkan telingaku ke bibirnya yang belepotan coklat.

‘’Om jangan bilang-bilang mamah, yah?! Usuf nggak buleh maem coklat, Om!’’ bisiknya.

‘’Nah looh … kenapa tadi nggak bilang?!’’ jawabku setengah kaget, soalnya takut diomelin emaknya.

Dengan polosnya anak itu nyengir, lucu sekali, sampai kelihatan gigi-gigi gerepesnya yang penuh dengan sisa-sisa coklat.

- Oleh : Satrio ‘si juragan kodhok’

Kamis, 12 Maret 2015

Pantangan

Ayam goreng yang dibawa tamuku terlihat menari-nari di depan mataku. Pahanya yang besar, dadanya yang montok, dan kulit krispinya itu, kelihatannya renyah banget. Aku tak kuasa menahan air liurku, aku tak kuasa melihatnya, rasanya ingin sekali menghabiskan menu favoritku itu.

‘’Hmmm … kayaknya enak banget!’’ batinku.

Seketika konsentrasiku jadi buyar, obrolan dengan tamuku yang tadinya seru kini semakin ngaco aja.

‘’Mas?’’ tanya tamuku.

‘’Iya.’’ jawabku nggak fokus, soalnya masih ngliatin ayam goreng itu.

‘’Maaasss …!! Diajak ngobrol malah bengong, ch!’’

‘’Iy .. iya .. eh .. ayam enak … eh …!!’’ jawabku setengah gagap.

‘’Hehe … udah di makan aja! Ntar keduluan kucing klo diliatin aja.’’ ujar tamuku sambil senyum-senyum.

‘’Aku nggak boleh makan ayam sama Bu Dokter, Mbak.’’ jawabku datar.

‘’Yah, harusnya Mbak bawa buah, ya? yo wes nanti dibagi-bagiin tetangga aja, Mas.’’ ujarnya lagi.

‘’Iya, Mbak. Terima kasih, ya?’’ jawabku.

‘’Tapi, harus mantang bener-bener lho, Mas! Biar cepet sembuh sakitnya.’’ ujarnya lagi menasehatiku.

Kemudian, aku dan sahabat karibku itu ngobrol ngalur ngidul, cerita tentang keluarga besarnya, cerita tentang pekerjaannya, cerita tentang masa lalu saat masih sama-sama bekerja, seru sekali. Semenjak aku sakit, aku tidak pernah ketemu lagi dengannya, mungkin ada 7 Tahun lamanya kita tidak ketemu.

‘’Ternyata dia masih mengingatku.’’ ujarku dalam hati.

Dua jam kemudian temanku pamit mohon diri, takut turun hujan katanya. Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil mengucap terima kasih yang sedalam-dalamnya.

‘’Terima kasih ya, Mbak. Maaf aku nggak bisa nganter sampe depan.’’ ujarku sambil mesam mesem.

‘’Iya, sama-sama ya, Mas. Kapan-kapan klo nggak sibuk aku main lagi.’’ jawabnya.

Setelah temanku pergi aku tutup kembali pintu kamarku, kemudian aku rapikan gelas-gelas kotor yang berada di atas meja. Sejenak mataku tertegun, melihat potongan Ayam goreng crispy oleh-oleh yang dibawa temanku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku ambil potongan ayam yang paling besar, kemudian aku buka juga saos sasetan yang berada di pinggirannya.

‘’Hmmm … enak banget …!!’’

Aku tak peduli lagi apa yang namanya pantangan, ayam ini rasanya enak sekali. Batinku bilang, ‘’Kalau makan ayamnya sekali pasti nggak pengaruh apa-apa.’’

Tapi, baru aja mau ngambil potongan ayam yang ke dua tiba-tiba pintu kamarku ada yang ngetuk.

‘’Tok … tok … tok …

‘’Mas … mas … maaf payungku ketinggalan!’’

Aku kaget, ternyata yang ngetuk pintu temanku yang tadi datang bertamu. Buru-buru aku rapiin ayam goreng yang sedang aku makan, tulang-tulangnya aku masukin ke dalam kantong plastik. Setelah semuanya rapi aku buka pintu kamarku pelan-pelan.

‘’Ada yang ketinggalan ya, Mbak?’’ tanyaku.

‘’Payungnya ketinggalan, Mas! Untung inget, soalnya udah gerimis.’’ jawab temanku.

‘’Emang udah sampe di mana, Mbak?’’ tanyaku lagi.

‘’Xxixixixi …. Masih di depan, Mas. Nunggu taksi lama banget.’’ jawabnya sambil ngakak cekikikan.

‘’Ketawanya sampe ngakak begitu?! Ada apaan sih, Mbak?!’’ tanyaku penasaran.

‘’Coba Mas ngaca! Pasti kliatan.’’ jawabnya lagi, masih ketawa cekikikan.

Pelan-pelan aku ambil kaca cermin yang berada di sampingku. Saat aku lihat raut wajahku, saat itu juga aku tersenyum kecut, malu sekali rasanya. Bibir sampai pipiku belepotan saos, bibirku juga kelihatan berminyak, kelimis banget.

‘’Hahaha … yo wes aku pulang ya, Mas?!’’ ujar temanku sambil ngakak cekikikan karena melihat ulahku.

Sebelum berlalu pergi, dia menatap box pembungkus ayam goreng yang udah acak-acakan itu. Lalu, mata kirinya mengerling genit ke arahku.

‘’Tiiing ….

‘’Duuuhhh malunya …

Oleh : Satrio ‘si juragan kodhok’

Selasa, 10 Maret 2015

Wong Nandur Bakale Ngunduh

‘’Srupuuuttt ….

‘’Aahh … Sweger tenan ….’’ Painem nyruput kopi karo manthuk-manthuk ngrungokne mp3.

♪ ♫ Ojo podho nelongso jamane jaman rekoso
Urip pancen angel kudune ora usah ngomel
Ati kudu tentrem nyambut gawe karo seneng
Ulat ojo peteng, nek dikongkon yo sing temen ♪ ♫

Tangane ora iso anteng, uthak-uthik nyekeli keypad hape. Ora let suwe dewekke ngguyu kemekel, sajakke atine bungah.

‘’Xixixixixi … Surti … Surti … dadi uwong ko’ yo nemen tenan bodhomu.’’ batine Painem, ngece surti sing lagi sibuk nyambut gawe dewe.

Jam 07 : 00 esuk, Painem karo surti mangkat lungo kerjo. Tekan kantor banjur kerjo bareng, resik-resik, nyapu, ngepel, karo nyiapne gelas piring kanggo acara kantor. Dino iki kantore ono acara ulang tahun perusahaan, anak-anak cabang perusahaan podo ngumpul ono kene kabeh. Molakne Painem karo Surti adoh-adoh dino wes diwanti-wanti si bos kudu mangkat gasik.

‘’Painem, Surti. Hari minggu nanti kantor kita mau ada acara. Kamu berdua berangkat pagi, ya? Jangan lupa pakai baju seragam yang rapi.’’

‘’Njeh, Pak. Saya siap.’’

Painem sing rumongso gur dadi pembantu males-malesan kerjone. Seko jam pitu tekan jam wolu dewekke gur lap-lap piring, ora rampung-rampung, piring sing wes resik malah dilap meneh, ben ketok nyambut gawe batine. Dewekke ngguyu kemekel saben ono karyawan sing arep njaluk tulung, bali cengkelak soale ndelok painem ijek sibuk lap-lap piring.

‘’Halah … Ngopo kerjo mempeng-mempeng! Gaji ora mundhak-mundhak! Sing sugeh rak gur bose thok!’’ batine Painem karo mbesengut.

Bedo karo Surti, dewekke pancen rajin nek nyambut gawe. Arepo tugase wes rampung ijek gelem ngewangi karyawan liyane. Noto mejo, noto kursi, masang taplak mejo, karo melu ngusungi panganan seko catering.

‘’Hoaheeem …!!’’ Painem klakepan.

Kerjaane durung rampung dewekke malah mlipir-mlipir, arep ngumpet ono mburi. Ora perduli kerjaane ijek akeh opo sithik, sing ono pikiriane gur siji ‘LEREN. Tekan mburi banjur nggawe kopi susu, lungguh ono nggudang karo ngrungokne mp3.

‘’Mesakne tenan Surti. Mesthi sak iki kekeselen.’’ batine Painem.

Sedelo meneh acara wes arep rampung, Painem siap-siap arep muleh. Dewekke thingak-thinguk nggoleki Surti.

‘’Lungo ngandi bocah iki! Huft … paling dikongkan kongkoni sing aneh-aneh.’’ batine Painem.

‘’Mengko nek tekan ngomah bocah iki mesthi kudu tak kandani! Sesuk-sesuk nek kerjo ojo sregep-sregep, lha wong gajine wae podho.’’ batine painem karo lambene menjap menjeb.

Dewekke banjur mlipir-mlipir arep muleh, metu pintu karyawan sing siseh kiwo. Pas tekan pintu Painem ndelok Surti nganggo seragam kebaya werno coklat, apik tenan. Surti dadi among tamu, lungguh ono kursi bareng karyawan liyane. Dewekke mesem pas ono tamu ngajak salaman karo ngeke’i amplop putih, atine ketok bungah .

‘’Matur nuwun sanget njeh, Pak. Mugi-mugi perusahaane tambah lancar.’’

Painem penasaran, ‘’Opo isine amplop kuwi?’’

‘’Ck ck ck … pancen rajin tenan si Surti.’’ Suorone pak Satpam ngagetne Painem sing lagek asik ngalamun.

‘’Pak direktur seneng tenan karo kerjanane Surti, molakne dewekke dikon dadi among tamu, sedelo meneh malah diangkat dadi staf karyawan. Lha nek aku ijek enom yo mesthi bungah nompo rejeki sing koyo mengkono kuwi. Lha wong nggolek kesempatan seng koyo mengkono kuwi ancene angel tenan. Lha nek saben tamu ngekek’i amplop isine 50 ewu, gari ngetung wae nek sing ngekek’i wong akeh ngono kuwi.’’ Kandhane pak satpam karo gedek-gedek.

‘’Wow … Tenane?’’ bantine Painem.

Banjur dewekke takon Pak satpam, ‘’Aku gelem Pak?! Aku gelem … aku yo gelem, Pak!’’

‘’Wes … wes … wes … lalekno wae opo sing dadi kekarepanmu.’’ Sing njawab Pak manajer, ujug-ujug liwat ono mburine Painem.

‘’Kabeh uwong sing enek kene iki ngerti, yen awakmu nyambut gawe males-malesan. Kantor iki mbutuhake uwong sing sregep, ora butuh karyawan keset koyo kowe kuwi. Wes, gek muleh kono, turu sing angler, sopo ngerti ono sing menei duit berjut-jut, lha kepenak, tho?!’’ kandha pak manajer banjur lungo.

Painem ndingkluk, kisinan dewe, ‘’Nylekit tenan pokoke.’’

Note : Ojo ngenteni seneng nembe syukur. Nanging bersyukuro, awakmu mesthi bakal seneng.

- Oleh : Satrio si juragan kodhok

Minggu, 08 Maret 2015

Malam Minggu

Malam minggu buatku sama saja tidak ada yang Special.

‘’Special? Apaan tuh yang special? kayak martabak telor ajah!”

Yang special justru malam jum’at kliwon.

‘’Lho! Kok malah malam jum’at? Dukun santet, dooong ...!!”

Pengen sih seperti yang lain, bisa punya pacar, bisa pergi malem mingguan, bisa jalan-jalan bareng, nonton bareng, makan bareng, juga bisa mojok bareng.

“Asiik juga tuh kayaknya! Semuanya serba bareng. Jadi kayak truk gandeng ajah, kemana-mana nggak bisa terpisahkan. Cuma rem blong doang yang bisa misahin mereka.”

Yang special selalu menjadi yang utama, selalu menjadi pilihan, dan selalu menjadi yang paling berharga. Special atau nggak Special buatku sama saja yang penting aku masih bisa nikmatin hidup ini. Seperti sore ini, meskipun aku cuma sendirian tapi tetep nggak mau kalah sama mereka yang pergi malem mingguan.

jam 04 sore aku udah pergi mandi. Habis mandi trus dandan rapi banget, soalnya mau pergi malem mingguan. Pakai celana jeans butut robek kondor ala rocker, pakai kaos item, jaket kulit item, kaca mata item, ikat kepala item, pokoknya semuanya serba item.

''Wuiih ... keren ...!!''

Tapi, lagi-lagi malam mingguku masih sama seperti biasanya, tetap sama seperti malem minggu yang telah berlalu. Yang aku lakukan hanya duduk bengong sendirian di pinggir kali sambil ngliatin kecebong kanyut, trus ngebayangin yang indah-indah.

‘’Aaaah …! Seandainya saja aku punya kekasih. Aku akan ajak dia duduk di sini menemaniku.’’

Aku pasti bahagia sekali bisa duduk berdua denganya. Saling memadu kasih, saling berpegangan tangan, bercerita tentang cinta, tentang bulan, tentang bintang, tentang hari esok, juga tentang indahnya malam ini. Lalu, aku akan membelai rambutnya yang indah, sambil membisikan kata-kata mesra..

‘’Dinda …! Rambutmu indah sekali… izinkan kangmasmu ini membelainya, ya?’’

Lagi asik-asiknya mengkhayal tiba-tiba tukang cilok lewat, trus dia iseng ngagetin aku.

‘’Badhalaaa …!! Sendirian saja, Mas! Temannya ke mana? Nggak baik melamun sendirian di pinggir kali!”

‘’ Eeehhh …! Kutu kupret, upil suneo! Kirain siapa, loe! Ngganggu aja orang lagi senang! pergi sono lu! Ngganggu gue aja!!'' jawabku setengah dongkol

‘’Ya maaf, Mas. Lagian Masnya ngapain bengong sendirian. Kok nggak pergi malem mingguan?” ujar si tukang cilok sambil nyengir tanpa dosa.

‘’Mas mau beli cilok nggak? Mumpung masih anget, nih!” lanjut si tukang cilok nawarin daganganya

‘’Nggak! Lagi nggak mood makan cilok. Udah sono lu pergi.” jawabku semakin kesal.

Si tukang cilok malah cengar-cengir aja, mukanya ngeselin banget

‘’Please … Beli dong, Mas! (mukanya dimelas-melasin) Mas baik deh, beli ya mas beli dong ayo dong! Ini cilok rasa cinta, lho!” bujuk si tukang cilok setengah memaksa nawarin daganganya

‘’kagak …! Klo gue bilang kagak ya kagak! maksa amat loe dagang!!’’ sahutku setengah membentak

‘’Maas …!! Lihat nih ciloknya bunder-bunder … masih anget pula. Diskon 50% deh buat si mas!’’ ujar Si tukang cilok sambil nyodorin panci berisi cilok daganganya tepat di depan muka gue.

‘’Nekad loe, ya!! Dibilangin baik-baik nggak ngerti juga! pergi sono loe yang jauh…., kalau nggak mau pergi gue tabok, loe!!” sahutku semakin habis kesabaranku.

Baru aja mau nabok si tukang cilok itu udah kabur duluan. Gerobaknya dibawa lari kenceng banget sambil mulutnya ngedumel ngomel-ngomel nggak jelas. Tapi, emang dasar tukang ciloknya yang suka jail, dari kejauhan dia masih teriak-teriak pake toak ngeledekin gue.

‘’ Woiii …! Juragan kodhok jelek, bujang lapuk, kriting, panoan …! kalau nggak mau beli jangan marah-marah, dong …! kalau berani ayo kejar, gue …!!” teriak si tukang cilok dari kejauhan sambil nggeol-nggeolin pantatnya.

‘’Huft …!!’’

Nasib-nasib, begini nih nasibnya kalau nggak punya pacar, bisanya cuma mengkhayal yang indah-indah. Tapi, nggak apa-apalah, namanya juga usaha. Walau pun jodohku entah berada di mana saat ini, pada akhirnya akan ketemu juga bila berjodoh.

‘’Tuhan menciptakan Sabar sebagai pasangan bagi rasa Syukur. Dan keindahan rasa syukur akan hadir saat didampingi oleh kesabaran, aamiin.

- Oleh : Satrio si juragan kodhok

Sarapan itu enak

<0(=.=)0>

Sabtu, 07 Maret 2015

Sak beja-bejane wong lali, iseh beja wong kang eling lan waspada

''Mbegegek ugek-ugek mbel-mbel sak ndulito. Lae ... Laaeee ... Sak beja-bejane wong lali, iseh beja wong kang eling lan waspada. Ora ana barang langgeng, mung kabecikan kang ora bisa sirna, sanadyan kang gawe becik wis ana ing jaman kailangan, kabecikane iya ora bisa ilang, isih ditinggal ana ing ngalam dunya, wong kang duwe lelabetan mangkono, iku unusaning manungsa, patut dadi sudarsananing ngaurip

Seberuntung-untungnya orang yang tidak ingat kepada Tuhan, Masih tetap untung orang yang selalu ingat kepada Tuhan. Tidak ada barang yang langgeng. Hanya kebaikan yang tidak bisa sirna, walaupun yang berbuat baik telah meninggal. Kebaikannya juga tidak hilang, masih ditinggal di dunia. Orang yang punya pengabdian seperti itu adalah orang baik, patut diteladani dalam kehidupan.

- ki lurah semar

Jumat, 06 Maret 2015

Wong Turu kuwi Mati pangane

‘’Nduk tangi, Nduk! Iki diampiri kancamu.’’ Simbok nggugah Painem sing ijek angler turu.

‘’Ng … mm ... ng … ijek ngantuk, Mbok!’’ semaure Painem, suorone ora jelas.

‘’Yo uwes nek ora gelem tangi.’’ kandhane Simbok, pasrah ndelok putrine sing angel gugahane.

Painem banjur ditinggal metu. Soyo suwe atine Simbok soyo anyel nyawang kelakuane putrine, sabendino gaweane gur mangan turu mangan turu. Ono ngomah ora gelem nyambut gawe, angger dikongkon nyambut gawe jawabane mengka mengko, ora kalap krewenge blass. Lumrae dadi wong wedok tangi turu kuwi sing dicekel sapu, lha iki sing cekel malah hape.

‘’Duh gusti … paringono sabar.’’ batine Simbok karo ngelus dodo.

Ora let suwe Simbok nemoni surti, kancane sekolah Painem. ‘’Nduk, Painem tak gugah ora gelem tangi.’’

‘’Nggeh sampun, Budhe. Pareng rumiyen nggeh?’’

‘’Iyo nduk, cah ayu. Sing ati-ati, yo? Aku yo arep mangkat nyang ngalas kok, Nduk!’’

Simbok banjur lungo menyang kandang pitik, telek pitik sing wes diklumpukne wingi-wingi banjur diwadai ono karung kresek. Telek pitik campur srinthil wedus kuwi dinggo ngrabuki jagung karo polowijo sing ono ngalas.

‘’Bismillahirohmanirohim …’’

Rabuk telek pitik campur srinthil wedus sing abote ono setengah kintal kuwi diangkat grieng karo simbok, banjur digendong nganggo slendang batik sing wernane wes kuluh. Simbok ora sambat, opo maneh nggersulo, tansah narimo opo sing dadi gaweane. Awan lan bengi Simbok ora bosen-bosen ndungo, nyenyuwun marang sing moho kuoso.

‘’Ojo kuatir, Nduk! Simbokmu iki ijek kuat nyambut gawe. Penjaluke Simbok ‘Sregepo sinau lan ojo lali sholat limang wektu.’’

Jam 09 : 30
Painem tangi turu. Motone ijek kriyep-kriyep nahan ngantuk, sebabpe mau bengi ora turu, sewengi muput dolanan hape. Tangi turu deweke klisa-klisi, thingak thinguk koyo enthung, wetenge keluwen. Banjur dewek'e lungo neng pawon, mbukak tutup panci, mbukak tutup sego, banjur njikuk gelas gondel.

‘’Eeeeggghhh …!!’’ Painem glegeken.

Dewek’e lungguh jigang, thiluk mangan sego adem turahane mambengi. Ono oseng-oseng buncis semangkok cilek, tempe goreng gari siji, sambel goreng, setengah toples iwak asin selar. Karo madang dewek’e mbatin, ‘’Alaaah … piket ono Sekolahan! Tiwas gur kesel thok ora enthuk opo-opo. Mending ono ngomah iso angler turu, iso mangan wareg. Nek dijak piknik neng Dufan aku mesthi gelem. Huft … mboseni tenan …!!’’

Bar madang painem banjur mlebu kamar meneh, dolanan hape karo nyetel musik. Soyo suwe ngrugokne lagu dewek’e ngantuk, liar-lier, ora let suwe angler turu.

Jam 12 : 00
Painem sing lagi angler turu kaget, surti kancane sekolah bengak bengok nyeluki dewek’e ono ngarepan omah.

‘’Nem … Painem … ndang tangio ...!! Gek endang metuo … tak kandhani …!!’’

Painem metu seko kamar karo klakepan soale ijek ngantuk, dewek’e ketok anyel turune diganggu.

‘’Ono opo, Sur?! Ngganggu wong turu, wae!’’

Surti banjur semaur, ‘’Mesakne tenan kowe, Nem! Mau bar piket sekolah ono Bu Camat niliki sekolahane awak’e dewe. Banjur murid-murid sing podho piket ditukokne panganan enak-enak. Iki lho Nem njajal deloken iki opo?’’

‘’Opo kuwi, Sur?’’

‘’Tiket gratis piknik neng DUFAN, Nem! Bu Camat mau ngajak murid-murid karya wisata, sesuk mangkate. Salahmu dewe mangesuk tak ampiri ora gelem tangi.’’ Kandhane Surti karo mesam-mesem, atine ketok bungah.

Painem ora iso ngomong opo-opo, pancen dewek’e wes suwe nduwe cita-cita kepengen lungo neng Dufan, nanging durung keturutan. Wes bola-bali nembung Simbok nanging jawabane Simbok mesthi ngene,

‘’Nduk, nek sekolahmu enthuk Ranking! Njaluk neng ngendi wae kekarepamu mesthi tak turuti. Arepo Simbok ora nduwe duit, raketang nggolek utangan.’’

Ora kroso mripate Painem mbrebes mili, rasane gelo neng ati, dewek’e ijek ora percoyo.

‘’Duh, gusti …!! Coba nek aku iki ora males-malesan … mesthi kesempatan sing tak impek-impekke iki ora ilang!’’

- Oleh : Satrio ‘si juragan kodhok’

Kamis, 05 Maret 2015

Gending Katresnan 4

Semenjak kecil, aku tinggal bersama kakekku di sebuah desa kecil, letaknya di desaTawang harjo, sebelah selatan kabupaten wonogiri. Rumah kakek sangat jauh dari tetangga dan keramaian. Karena saking jauhnya dengan tetangga aku sering bermain sendirian di rumah. Mencari ikan di kali, mencari burung atau terkadang mencari sarang lebah madu di sekitar rumah kakek.

Sepulang dari sekolah biasanya aku langsung membantu kakek bekerja di ladang. Mencari rumput, kayu bakar, ngangon kambing, juga menunggu burung emprit pemakan padi. Sore harinya bermain layang-layang di halaman rumah sambil menikmati potongan tebu.

Karena didikan kakeklah menjadikan aku seorang anak yang rajin dan pemberani. Aku tidak takut menangkap ular berbisa, memburu garangan yang mengejar-ngejar anak ayam, atau pergi ke tengah hutan sendirian. Tapi, aku juga sering kena celaka akibat keberanianku ini, sering ceroboh karena rasa penasaran yang berlebihan.

Suatu ketika, aku di ajak paklek mencari lebah madu di pinggiran kali krakal. Kebetulan di sana ada sarang lebah madu yang lumayan besar, cuma letak sarangnya itu sangat sulit untuk di jangkau tangan manusia, berada tepat di ujung pohon yang telah mati. Pohon itu menjorok ke tengah kali yang lumayan dalam airnya, membuat siapa pun orang enggan untuk memanjatnya.

‘’Berani manjat nggak, lee?’’ ujar paklek mengagetkan lamunanku.

‘’Berani, paklek!’’ jawabku sedikit tertantang.

‘’ Tapi, banyak semutnya?’’ ujar paklek mengingatkan.

‘’Sudah kebal sama semut!’’ jawabku sambil cengengesan.

Kemudian, aku buka kaos lusuh kesayanganku. Kaos bola lusuh bernomor 10 bertuliskan maradona itu pemberian saudara yang datang dari Jakarta. Aku sangat menyukainya, karenanya aku selalu memakainya setiap hari.

Tanpa menunggu-nunggu lama, aku segera memanjat pohon itu dengan sangat hati-hati. Ranting-ranting kecil aku jadikan sebagai pijakan kaki. Semut-semut rangrang yang terusik karena keberadaanku mulai menggigit badanku, tapi aku tidak menghiraukannya.

Sesampainya di puncak pohon tua itu, aku terkejut dan sedikit kecewa. Ternyata lubang lebah madu itu telah kosong dan tidak ada tawon madunya. Aku longok-longok lubang itu, sangat gelap di dalamnya, tapi lagi-lagi tidak ada apa-apa di sana.

‘’Paklek …, Sudah kosong sarangnya?’’ ujarku pada paklek yang berada di bawah.

‘’Masak sih, lee? Kemarin sore masih ada, kok!’’ jawab paklek meyakinkan aku.

‘’Bener …! Tuh lihat! Nggak ada apa-apa di dalamnya!’’ ujarku lagi.

‘’Coba disodok pakai ranting kecil, lee?’’ saran paklek.

Kemudian, aku ambil sebatang ranting kecil yang telah kering . Lalu, aku sodok lubang lebah madu itu dengan kerasnya. Dan, inilah akibat kecerobohanku….

‘’Pakleeekkk ..., Tawonnya keluar semuaaa ...!!’’ aku mulai panik dan sangat ketakutan.

Beribu-ribu tawon lebah madu keluar dari sarangnya. Mengamuk membabi buta, menyerangku, mengantup seluruh badanku. Tiap kali lebah madu itu menyengatku, badanku jadi bergoyang-goyang seperti kalau orang di cubitin sana sini. Kedua tanganku sibuk menghalau lebah yang hinggap di badanku.

‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’ teriakku menahan kesakitan akibat di antup tawon.

‘’Cepaat turun, leee …!!

Aku pun segera turun dari pohon itu sambil menahan sengatan lebah. Sesampainya di bawah aku langsung berlari sekencang-kencangnya, karena lebah-lebah madu itu masih tetap menyerangku dan mengejarku.

‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’

Di bawah pohon kelapa aku berhenti berlari dan terkapar tak berdaya. Nafasku ngos-ngosan, seluruh badanku rasanya sakit semua. Sisa antupan lebah berwarna putih itu tidak ada habisnya di cabutin paklek dari badanku. Mungkin kalau di hitung, ada ratusan lebih lebah madu itu mengantupku.

Lebah madu liar, warnanya hitam bergaris kuning kecoklatan. Biasanya, satu kali antupan bisa membuat badan jadi bengkak. Bisa di bayangkan, bagaimana rasanya kalau di antup ratusan lebah.

Akibat dari kejadian itu, semalaman suntuk aku tidak bisa tidur. Badanku jadi panas dingin seperti orang sakit meriang. Oleh kakek aku hanya di kasih minum air kelapa hijau. Dan, Alhamdulilah, esok paginya aku sudah segar bugar kembali, Cuma bedanya badanku masih terasa sedikit kaku.

Kejadian tragis itu tidak lantas membuatku kapok. Justru inilah awal dari kecerobohanku yang bertubi-tubi.

Sebulan kemudian, saat usai kenaikan kelas 5. Aku dan teman-teman di tugaskan piket membersihkan sekolah dan lingkungan sekolah. Tugasku membersihkan sampah di atas plafon ruang kelas bersama guru olahraga, pak syahrin namanya. Satu per satu sampah-sampah daun kering di atas plafon itu aku turun kan memakai ember, lalu temanku yang berada di bawah membuangnya ke tempat sampah.

Setelah pekerjaanku selesai, pak guru olahraga memanggilku.

‘’Satrio! Bawa embermu ke sini? Temani bapak naik ke atas plafon guru!’’

‘’Njeh, Pak.’’

Kemudian, aku bersama Pak guru naik ke atas plafon itu. Sesampainya di atas plafon, ternyata pak guru mau mengambil lebah madu. Lebah madu itu tepat berada di lubang angin, bentuknya memanjang dan banyak sekali lebah madunya. Pak guru mengambil tala madu itu, lalu menaruhnya di ember yang aku pegang. Setelah ember itu penuh tala madu, pak guru pun segera mengajakku untuk turun.

Setelah sampai di bawah, rasa penasaranku kembali muncul. Aku juga ingin seperti pak guru, mengambil madu dari atas plafon itu. Keinginan hatiku sangat kuat, karena melihat tala madu yang demikian banyaknya. Kemudian, dengan mengendap-endap, aku mengambil kantong kresek hitam dari dapur sekolahan lalu naik lagi ke atas plafon itu.

Sesampainya di sana di atas plafon itu, aku segera mendekati sarang lebah madu itu. Hatiku rasanya deg-degkan tidak karuan, antara takut, berani dan juga rasa penasaran yang sangat tinggi. Perlahan-lahan aku tarik tala madu itu, tapi tidak juga mau terlepas. Semakin kuat aku menariknya, tapi tetap saja tala lebah madu itu tidak mau terlepas. Tiba-tiba, saat aku ingin menariknya kembali, satu ekor lebah madu menyerangku. Seketika aku panik dan berusaha lari menghindar, tanpa sadar kalau aku sedang berada di atas plafon guru. Dan ….

‘’Aaaaa ...!!’’

‘’Gubraaakkk ….

Atap plafon eternit itu amblas terinjak kakiku dan aku jatuh njeblos ke bawah. Untungnya tangan kananku sempat meraih kayu plafon sehingga aku tidak sampai jatuh ke lantai.

‘’Tolong saya Pak Guru!’’ teriakku masih dalam keadaan gelantungan seperti tarzan.

Aku panik, antara takut terjatuh juga takut dimarahi oleh pak guru. Beberapa saat kemudian Bapak guru dan teman-temanku yang lain menolongku.

Sekujur tubuhku babak belur, mulai dari kepala, tangan, sampai kakiku lecet-lecet semua. Pak Guru Olahraga dengan sabar mengobati lukaku sambil menasehatiku.

‘’Arep ngopo kowe munggah meneh?’’ tanya Pak Guru.

Aku menjawab dengan sedikit gemetaran karena takut dimarahi.

‘’Ajeng ngunduh tala madu, Pak.’’

‘’Arep mbok nggo opo?’’ tanyanya lagi.

‘’Niate madune ajeng didum kaleh rencang-rencang.’’ jawabku sambil mesam-mesem.

‘’Ngambil tala madu iku kudu nganggo iki.’’ ujar Pak Guru sambil tangannya nunjuk ke kepalaku.

‘’Njeh Pak Guru.’’ jawabku manggut-manggut.

‘’Nanti kapan-kapan Bapak ajari, ya? Sekarang kamu pulang saja, biar diantar temn-temanmu.’’ lanjut Pak Guru.

Sesampainya di rumah aku dimarahin kakek, beliau menasehatiku habis-habisan.

‘’Thole, sebagai murid yang baik, kamu tidak boleh berlaku nekat seperti itu. Kudu nganggo toto kromo. Kalo tidak disuruh jangan ngambil sendiri yang bukan hakmu, itu namanya ora ilok!’’

Aku diam saja tidak berani bersuara, hanya bisa mengangguk pasrah, sambil meringis-ringis menahan sakit.

Siang itu kakek tidak jadi pergi ke ladang, dengan penuh kasih sayang beliau membuatkan ramuan obat untukku. Aku semakin sadar, aku memang salah, telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku.

‘’Cucumu yang nakal ini minta maaf ya, kek.’’ ujarku dalam hati menyesali diri.

Sore harinya, kakek terlihat sibuk di samping rumah. Tapi, aku belum bisa membantu beliau karena badanku masih terasa sakit. Tidak berapa lama kemudian, ada asap putih mengepul dari samping rumah. Dari bau asap itu aku tau, pasti itu asap dari kembang koler (kembang kluwih/nangka jawa).

Saat aku mendekat, aku melihat kakek meniup-niup asap itu ke a rah lubang gelodokan tawon madu. Semakin banyak asap yang keluar, semakin banyak pula tawon-tawon yang keluar dari sarangnya. Setelah tawonnya berkurang, satu-persatu tala madu itu diambil kemudian di taruh di atas tampah (tempat dari anyaman bambu).

Kakek memang memelihara tawon madu, ada dua gelodokan, semuanya terbuat dari batang kelapa yang dilubangin tengahnya. Tapi, lebah madu itu jarang sekali di unduh, kalau ada orang yang meminta baru kakek mengambilnya.

‘’Thole! Ambilin botol bekas sirup di atas meja.’’ ujar kakek sambil membersihkan sisa-sisa tawon yang masih melekat di tala madu.

‘’Iya, Kek.’’

Kemudian, satu-persatu tala madu itu diperas menggunakan kaos bekas, lalu di masukkan ke dalam botol sirup. Setelah selesai, madu yang sudah tertuang di dalam botol itu diberikan kepadaku.

‘’Nih, buat kamu semua. kalau kamu pengin opo-opo bilang sama kakek. Jangan berbuat seperti itu lagi.’’ ujar kakek.

‘’Nggeh, kek.’’

Aku ambil botol madu itu dengan perasaan senang sekali, isinya hampir sebotol penuh, warnanya bening kecoklatan, kental sekali.

‘’Coba kamu rasain manis nggak, lee?!’’ ujar kakek lagi sambil tersenyum.

Perlahan-lahan aku buka tutup botol sirup itu, lalu aku celupin jari telunjukku kemudian aku jilat.

‘’Hnggg … Manis banget, kek! Manis banget!’’ ujarku kegirangan.

Semenjak itu, setiap mau tidur atau berangkat sekolah aku selalu minum dua sendok madu tawon. Terkadang aku campur dengan singkong rebus, sungguh rasanya enak sekali.

( bersambung )
- Oleh : Satrio ‘si jragan kodhok’

Kebenaran itu dari Tuhanmu









Alloh swt berfirman, ''Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah, Tuhan-ku. Kepada-Nya-lah aku bertawakal dan kepada-Nya-lah aku kembali.

(QS asy syura : 10 )

Namanya berselisih itu biasanya mencari kebenaran. Dua orang yang berselisih masing-masing mesti merasa dirinya yang paling benar. Si A dan B berselisih tentang sesuatu, masing-masing berebut kebenaran. Sedangkan kebenaran itu mutlak milik Alloh, ‘Al haqu mirobikum kebenaran itu dari Tuhanmu.

Maka dari itu apabila umat muslim terjadi perselisihan ‘’farudu illalloh wa rosulli kembalikan kepada Alloh dan Rosul. Kalau berselisih yang dicari suatu kebenaran, jangan mengatakan’ aku yang benar, aku yang benar’, kalau masing-masing kembali kepada akunya pasti tidak akan ketemu. Kalau sudah kembali kepada Alloh, masing-masing tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Apa pun yang menjadi keputusan Alloh harus ‘Sami’na wa to’na kami dengar dan kami taati, dan tidak ada keberatan sedikitpun.


 Itulah pedoman singkat kita sebagai orang mukmin, agar tidak terjadi perselisihan dan permusuhan yang berkepanjangan.

- Salam santun saya

Senin, 02 Maret 2015

Kutukan Kotak Make Up

‘’Mas, toilet di mana, ya?’’tanya seorang wanita, raut mukanya nampak seperti sedang menahan sesuatu.

‘’Mau tau aja ato mau tau banget?!’’ jawabku.

‘’Buruan, Mas! Saya udah nggak tahan!’’ lanjutnya sambil meringis-ringis.

‘’Tadi Mbak nanya apaan, cih?! kurang jelas suaranya.’’ jawabku pura-pura nggak denger, padahal dalam hati udah pengen ngakak cekikikan.

‘’Toilet, Mas …!! Toileet … buruaan … di mana …!!’’ tanyanya lagi, kali ini gerakan badannya semakin terlihat aneh.

‘’Ouw … toileeet …!!’’ jawabku sambil garuk-garuk rambutku yang kribo, pura-pura mikir.

‘’Di mana, Maaass …?!!’’ tanya wanita itu semakin tidak sabaran.

‘’Tuh, di pojok sebelah kiri!’’ jawabku cuek, sambil nunjuk ke arah toilet yang aku maksudkan.

Setengah berlari wanita itu menuju ke arah toilet yang aku bilang tadi. Beberapa saat kemudian dia sudah keluar lagi, mukanya nampak berbinar.

‘’Mbak?’’ tanyaku sambil mencet hidung.

‘’Iya, Mas. Ada apa?’’ jawabnya, dia heran melihat ulahku.

‘’Belum cebok, ya? Itu kan toilet rusak!’’ tanyaku lagi dengan suara bindeng, soalnya masih mencet hidung.

Wanita itu diam saja, raut mukanya nampak memerah, matanya melotot tajam menatapku. Tiba-tiba …

‘’Plaaak …

Aku kaget setengah mati, tanpa aku duga wanita itu menampar pipiku. Setelah itu dia berlalu pergi tanpa memperdulikan aku yang sedang meringin-ringis menahan sakit. Sebenarnya tamparannya tidak terlalu keras, tapi untuk menutupi rasa maluku aku pura-pura kesakitan.

‘’Huft  … untung nggak ada yang ngliat!’’ ujarku dalam hati sambil menghela nafas panjang.

Saat aku raba pipi bekas tamparan tadi, hidungku mencium bau sesuatu yang aneh.

‘’Kayak bau jamban? Bau apaan, nih?!’’

Seperti biasa, sepulang dari kerja biasanya aku dan teman-temanku menurunkan barang di lantai bawah, di tempat parkir ini. Tapi kali ini aku bekerja sendirian, soalnya teman-temanku ke luar kota semua.

Properti Shooting satu mobil box penuh itu aku turunkan satu persatu, kemudian aku bawa ke gudang di lantai 4. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya jika pekerjaan itu dikerjakan seorang diri.

Baru saja aku mau naik ke tangga lantai pertama, di tengah tangga aku lihat ada orang berjalan sambil menjinjing koper kecil. Bukannya ngasih jalan dia malah cuek aja, hanya menoleh sesaat lalu berjalan lagi tanpa memperdulikan aku yang kepayahan karena membawa beban berat.

Jalannya pelan sekali, sepertinya dia memang sengaja menghambat jalanku. Pinggulnya nampak bergoyang lendat lendut ke kanan dan ke kiri.

‘’Huft!’’ gerutuku dalam hati.

Namanya Iren ridya, make up artis yang biasa dipanggil kantorku untuk merias artis. Laki-laki setengah perempuan itu sudah 4 x dipanggil kantorku untuk membantu pekerjaan kantor. Karena riasannya sesuai apa yang diharapkan, si bos memanggilnya kembali.

Biasanya kalau di lapangan teman-temanku sering ngeledekin dia, meniru gayanya. Kemudian kami tertawa cekikikan tanpa merasa berdosa sedikitpun. Tapi, kali ini sepertinya aku yang kena batunya. Padahal selama nggodain dia aku cuma ikut-ikutan doang, nggak sampai kelewatan.

‘’Huft …!’’

Aku menghela nafas panjang, barang bawa’anku terasa semakin berat. Tanganku gemetaran, nafasku semakin ngos-ngosan, keringatku pun semakin deras bercucuran. Rasanya ingin sekali aku berhenti, tapi barang bawa’anku ini sensitive dan tidak boleh ditaruh disembarang tempat.

‘’Sial bener nasipku!’’ gerutuku dalam hati.

Rasanya jengkel sekaligus menggelikan. Gimana nggak menggelikan, di belakangnya ada orang yang bawa barang berat, di depannya ada cewek jadi-jadian yang nggak mau ngasih jalan.

‘’Hehe …

 Akhirnya dengan nafas ngos-ngosan sampai juga di lantai 4. Aku lihat dia berjalan lenggak lenggok, kemudian menaruh kotak make up yang dia bawa di atas meja. Kotak make up kecil itu dia taruh pelan sekali, sambil bilang.

‘’Aduuuh … ciiin … capek bangeet … yah …!’’

 Aku pun nggak mau kalah, dengan perasaan jengkel aku taruh barang bawa’anku satu-persatu ngikutin gayanya yang lemah gemulai. Setiap barang yang aku taruh, bibirku aku monyong-monyongin.

‘’Aduuuh …. Aku capek juga, niiih …!! Em … em .. em …!!’’

Ternyata dia nggak suka melihat ulahku, raut mukanya terlihat kesal. Tatapan matanya terlihat aneh, sepertinya ada sesuatu yang dia rencanakan. Saat aku tegur dia diam saja, pura-pura nggak dengar, padahal aku ngerasa ngeri juga kalau dia marah beneran.

Dan memang benar, inilah awal dari kesialanku yang bertubi-tubi. Mau tak mau aku harus terima nasip sialku, kalau nggak, aku bisa kena kutukan sial seumur hidupku.

“Hehe …

Pagi itu sebelum berangkat ke lokasi shooting si bos memanggilku untuk ikut metting sebentar.

‘’Mas, nanti bilangin anak-anak! Property klien jangan sampai kelupaan di bawa. Kayaknya orangnya rada ribet!’’ ujar si bos memberitahuku.

‘’Siap, Pak!’’ jawabku singkat.

Saat sedang metting bersama teman-teman yang lain, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang wanita. Wanita itu memakai kemeja lengan pendek dibalut rok panjang berwarna coklat tua, rambutnya hitam panjang sebahu. Cantik sekali, pikirku. Tapi, saat aku melihat wajahnya aku kaget.

‘’Piasss …!!’’ jantungku serasa mau copot.

Ternyata wanita itu wanita yang aku kerjain di tempat parkiran kemarin sore. Tidak salah lagi memang dialah orangnya, aku belum lupa, ada tahi lalat di pipinya.

‘’Selamat pagi teman-teman semuanya! Maaf, kelamaan nunggu, ya? Macet banget jalannya!’’ sapanya ramah.

Aku cuma bisa menunduk diam saat dia menatapku tajam, sepertinya dia juga mulai mengenaliku. Cuma sedikit yang dia bicarakan tentang produck perusahaannya, selebihnya dia berbicara tentang adab kesopanan.

Mati kutu, bener-bener mati kutu aku dibuatnya. Si bosku sampai terheran-heran, kenapa sikap kliennya jadi berubah seperti itu. Semua yang berada di ruangan itu nampak serius mendengarkan dia berbicara. Aku sendiri merasa seperti berada di ruang sidang, dan sudah dapat dipastikan akulah tersangka utamanya.  Tapi, hatiku sedikit lega, ternyata dia tidak langsung mendampratku.

Jam 8 : 30
Aku berangkat duluan ke lokasi shooting, membawa tumpukan property juga peralatan set artku. Sesampainya di sana lokasinya masih sepi, hanya ada aku dan beberapa teman-temanku yang ikut membantuku,  juga tukang make up artis.

Satu-persatu barang-barang yang berada di atas mobil box itu aku turunkan. Kemudian aku bawa masuk ke dalam rumah studio yang menjadi set pertama pagi ini.

Saat aku melangkah masuk ke dalam rumah, dari kejauhan aku lihat Iren, lelaki setengah wanita itu berjalan ke arahku dengan langkah gemulai. Saat itu aku kerepotan membawa barang berat, di tangan kanan  bawa monitor camera, di tangan kiri bawa kabel-kabel segede gaban. Begitu dekat, tanpa ba-bi-bu lagi wanita jadi-jadian  itu meremas barang milikku yang paling berharga dengan sekuat tenaga.

‘’Aaawww …!! Aduuuh …!!’’

‘’Rasain … luu …!!’’ seringainya kejam.

Spontan aku turunkan barang bawa’anku, kemudian mendampratnya habis-habisan. Aku ngamuk-ngamuk, ngedumel tiada henti, sambil meringis-ringis menahan sakit.

‘’Sial … sial … apes benar nasip gue hari ini!!’’

Setelah kejadian itu, rasanya seperti bekerja di  dunia lain saja. Rasanya kesal sekali, sungguh baru kali ini aku perlakukan dan dilecehkan seperti itu. Ingin rasanya menghajar orang itu, tapi aku berusaha bersikap professional, karena tidak mau mengecewakan si bos.

Setiap kali berpapasan dengannya jalanku minggir-minggir seperti orang ketakutan. Dan, setiap kali beradu pandang dengannya dia selalu ngedipin mata genitnya.

‘’Tiiing …

‘’Piaaasss … Asem banget rasanya … mimpi apa gue semalem!! Anjriiit … anjriiittt … dodol … dodooolll …!!’’ gerutuku dalam hati.

Akhirnya tugasku hari itu selesai, aku merasa pekerjaanku kali terasa sangat berat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Dan resikonya menjadi anak set art, aku berangkat duluan ke lokasi pulangnya pun paling akhir.

Dua jam kemudian, barang-barang itu sudah aku muat kembali ke dalam mobil box. Saat mau pulang mendadak perutku mules, melilit-lilit berasa ingin boker, buru-buru aku berlari menuju ke toilet studio yang berada jauh di belakang.

‘’Huft! Makan apa gue tadi. Perasaan cuma makan nasi kotak?! Apa gara-gara kemaren sore makan tongseng?!’’ gerutuku dalam hati sambil ngelus-elus perutku.

Tapi, saat aku mau buka pintu aku sedikit kaget, pintu kamar mandi itu seperti terkunci dari luar. Aku tarik lebih keras tapi pintu kamar mandi itu tidak bergerak sedikitpun. Tanpa menunggu lama aku gedor-gedor pintu itu, berharap ada orang yang mau membukanya.

‘’Dor .. dor .. dor …

‘’Ada orang nggak di luar!! Minta tolong, dong!!’’ teriakku mulai panik.

Berulangkali aku gedor pintu itu sambil teriak-teriak minta tolong tapi nggak ada jawaban sama sekali.

Tiba-tiba dari arah bawah pintu ada orang nyelipin selembar kertas putih. Buru-buru aku mengambilnya kemudian aku baca.
-------
Aku sih mau aja bukain pintu
Tapi ada syaratnya, cint!
Syaratnya kamuh harus mau jadi pacar aquh.

Ttd : Iren
----------
Spontan aku ngamuk-ngamuk, nyerocos terus sambil ndobrak-dobrak pintu kamar mandi itu.

‘’Eh! Kolor betmen …!! Lu bukain nggak pintunya. Elu sengaja ya ngonci pintunya!! Awas lu, ya!!’’ dampratku semakin naik pitam.

Saat aku mau dobrak pintu itu lagi, tiba-tiba perutku mulas lagi, kali ini rasanya lebih melilit dari yang pertama. Buru-buru aku kembali duduk di closet duduk itu, tanpa perduliin pintu yang belum bisa aku buka.

‘’Egghh … aduh … sakitnya banget … perutku …!!’’ ujarku sambil meringis-ringis memegang perut.

‘’Mas, bro!!’’ suara Iren mengagetkan aku.

‘’Iya, kenapa?’’ jawabku dengan suara seperti menahan sakit.

‘’Gimana syaratnya?’’ tanyanya lagi.

‘’Syarat apaan?!’’ jawabku dengan suara yang sama.

‘’Jadi pacarkuh!’’ lanjutnya.

‘’Elu gila kali, yeh!! Kagak kagak …!! Yang kagak kagak aja jadi orang!!’’ jawabku dengan nada tinggi, tapi suaranya masih sama seperti suara orang boker.

‘’Hehe … akuh cuma becanda ko’ Mas bro!! Lagian mana ada orang mau sama gueh!’’ ujar dia.

‘’Lha, itu elu tau!! Jangan menyalai kodrat, lah!! Meski susah elu harus belajar menjadi lelaki normal kembali!!’’ jawabku sedikit kalem.

‘’Duuuutttt … prepet …prepet … pet …

‘’Tapi, janji, yah?’’ tanyanya lagi.

‘’Janji apaan?!’’ jawabku dengan suara seperti menahan sesuatu.

‘’Akuh sebenarnya nggak suka tiap kerja diledekin mulu. Temen-temen Mas bro itu kelewatan semuah!! Akuh juga punya perasaan tau, nggak!! ’’ ujarnya lagi.

‘’Iya …iy … iya..!! gue janji!!’’ jawabku.

‘’Iya sudah, makasih Mas bro!! Aku pulang, ya? Kuncinya udah aku buka. Maaf kalo selama ini aku punya salah!!’’ ujarnya kemudian berlalu dari tempat itu.

- Oleh ; Satrio ‘si juragan kodhok’