Sabtu, 25 Juli 2015

Senjata Mustika warisan kakek buyutku

Matahari baru saja tenggelam di peraduan. Suasana lereng gunung gajah mungkur tampak begitu tenang, hanya suara binatang malam yang sesekali terdengar di kejauhan. Udara begitu dingin, serasa menusuk-nusuk tulang sumsumku, membuatku tak ingin lepas dari sarung kesayanganku.

‘’Kademen ya, Lee?’’ ujar  Kakekku mengagetkan lamunanku.

‘’Iy ..iya …Kek.  Dingin banget.’’ jawabku dari balik sarung.

Beberapa saat kemudian kakek datang lagi membawa sesuatu, ‘’Thole … tangi tangi … iki ngombe wedang jahe ben ora kademen.’’ ujar kakek sambil menyodorkan minuman hangat itu.

‘’Terima kasih, Kek.’’

Setelah minum wedang jahe buatan kakek badanku terasa hangat, rasanya pun enak sekali, mengingatkanku pada minuman jahe sasetan yang sering aku beli waktu di Jakarta. Tapi, wedang jahe buatan kakek rasanya lebih enak dan lebih terasa jahenya.

Srupuuuttt ….

‘’Aaach …’’

Begitulah, setiap sore kakek selalu membuatkan aku wedang jahe pengusir rasa dingin itu. Kemudian, kami berdua duduk bercengkerama, malam harinya kakek mengajariku membuat anyaman bambu.  Esok paginya kakek mengajakku pergi ke ladang, memanen jagung, sayur-sayuran, juga ketela  singkong untuk di jual di pasar.

Rasanya betah tinggal di sini, tak terasa sudah ada satu minggu aku mudik di sini di tempat kakekku. Suasananya begitu tenang, begitu damai, berbeda sekali dengan Ibukota yang selalu bising setiap harinya. Aku berfikir, saat aku tua nanti aku ingin tinggal di sini, agar aku bisa lebih menikmati hidup seperti kakekku.

Seminggu yang lalu, saat pertama kali menginjakkan kakiku di rumah ini aku sangat kegirangan. Bagaimana nggak kegirangan, dua hari aku kena macet di jalan raya, bising, kena panas, kena hujan, seluruh badanku rasanya pegal sekali, dan sangat membosankan.

''Huft ... Kenapa orang-orang nggak pernah kapok mudik, ya? Padahal keadaannya begini, serba melelahkan.''

Sampai di rumah kakek jam 8 malam, bisa dibayangkan bagaimana lelahnya perjalananku. Malam itu kakek gembira sekali menyambut kedatanganku, berulangkali beliau mengusap-usap rambutku.

‘’Tholee … ternyata kamu sudah besar.’’

‘’Iya, Kek.’’ jawabku malu-malu.

‘’Gimana kabar Bapak Ibumu? Rak yo sehat kabeh, to?’’ tanya kakek.

‘’Alhamdulillah … sehat , Kek.’’ jawabku.

‘’Puji syukur …. yo wes … itu kamarmu klo mau istirahat.’’ ujar kakek sambil nunjuk ke arah kamar yang berada tidak jauh dari tempatku berdiri.

‘’Iya, Kek. Terima kasih nggeh.’’

Aku segera bergegas menuju kamar untuk beristirahat., badan ini rasanya lelah sekali. Tapi, saat mata ini  terpejam tiba-tiba ada suara berdengung di telingaku.

''Ngiiing ... ngiiiieeng ...

‘’Huft … dasar nyamuk!! Ngganggu orang lagi tidur aja!!’’ gerutuku.

Dengan kesalnya itu nyamuk aku pukul mengunakan handuk kecilku.

Tebuuuk …. Tebuuuk …

Itu nyamuk bukannya kena aku pukul malah pinter banget ngelesnya kayak sopir bajay. Berulang kali aku ayun-ayunkankan handuk kecilku k earah nyamuk itu, tapi tak satupun mengenainya.

''Ngiiing ... ngiiiieeng ...

Bukannya takut, nyamuk itu malah berputar-putar di dekat telingaku, bunyinya seperti  helikopter mau perang.

''Plaaakkk ....

Satu nyamuk mati kena tabokanku, yang satunya lagi lolos entah ke mana. 2 menit kemudian nyamuk yang lolos tadi datang lagi, kali ini dia membawa rombongan, kayaknya dia tadi marah trus ngadu ke saudara-saudaranya gara-gara aku tabok. Ada Budhenya, Pakdhenya,Bapaknya, Ibunya, kakeknya, neneknya, ponakannya, adiknya, kakaknya, pembantunya, semuanya diajaknya buat bantu nggebukin aku. =D :P

''Eiiittt ... klo berani jangan kroyokan! Ayo maju satu-satu!'' tantangku.

Buru-buru aku ambil sarung dari dalam tasku, kemudian pergi tidur. Aku tak perduli nyamuk-nyamuk itu mau menggigitku, sarung itu aku keredongin hingga menutup kepalaku. Dan benar saja, esok paginya dengkulku bentol-bentol kena gigitan nyamuk.

‘’Huft … sial  bener!!’’ gerutuku kesal.

 Padahal seluruh badanku udah ketutup semua, atas pakai sarung, bawah pakai celana panjang + kaos kaki. Salahnya aku pakai celana yang dengkulnya bolong, otomatis nyamuk-nyamuk kampret itu pada berpesta pora nyedotin darah di dengkulku.

‘’Nyari apa, lee?’’ ujar Kakek mengagetkan aku.

‘’Minyak gosok, Kek!’’ jawabku.

‘’Tuh di pojokan meja! Kamu kenapa?’’ tanya Kakek.

‘’Di gigit nyamuk, Kek. Dengkul bentol-bentol semua.’’ jawabku sambil ngoles-olesin minyak itu.

Kakek memandangku sebentar, kemudian pergi ke dalam kamar. Beberapa saat kemudian Kakek keluar membawa kotak berukuran 1 meter x 50cm, terbuat dari kayu jati. Kelihatan sekali kalau kotak itu sudah berumur puluhan Tahun, terlihat dari warnanya yang sudah kehitam-hitaman karena di makan usia.

Aku diam saja tidak berani bertanya, hanya memandang kakek dari kejauhan. Mungkin itu kotak pusaka, atau mungkin pusaka warisan leluhur, dari kejauhan samar-samar aku membaca tulisan yang sedikit sulit untuk di baca. Kalau di eja tulisannya seperti ini, ‘’M U S T I K A’’.

‘’Mustika! Jangan-jangan kotak itu isinya pusaka sakti?’’ batinku bertanya-tanya dalam hati.

 Aku jadi teringat tokoh dunia persilatan yang menjadi idolaku ‘’WIRO SABLENG’’, dia juga mempunyai senjata mustika kapak maut naga geni 212. Apa mungkin kakek juga mempunyai senjata ampuh semacam itu, kalau iya berarti kakekku dulu seorang pendekar, atau mungkin juga seorang prajurit dari keraton.

‘’Tholee … ke sini sebentar?!’’ panggil kakek.

‘’Iya, kek!’’ jawabku singkat.

Hatiku berdebar-debar dan bertanya-tanya dalam hati. Kenapa kakek tiba-tiba memanggilku? Apa mungkin kakek mau mewariskan senjata mustika itu? Tapi, untuk apa?.

‘’Waduh! Bisa berabe nih klo beneran!’’ batinku sedikit gelisah.

Aku merasa belum siap menerima hal-hal yang begituan, aku ini orang kota, orang yang tidak begitu saja mempercayai hal-hal mistis seperti itu. Lagian juga aku ini nggak bisa beladiri, apalagi berkelahi, boro-boro berantem dikejar-kejar bebek aja aku nangis kekejer.

‘’Thole, sini duduk dekat kakek?’’ ujar kakek sambil membersihkan kotak tua itu menggunakan kain lap.

‘’Iya, Kek.’’ Jawabku pelan dengan nafas sedikit tertahan.

‘’Sudah lama kakek menyimpannya. Sayang klo nggak di pakai, nanti malah rusak.’’ Ujar kakek.

‘’Ta tapi, Kek?!’’ jawabku sedikit gugup.

Aku semakin salah tingkah dibuatnya, mau menolak takut, apalagi membantah ucapan kakek. Mendadak sekujur tubuhku berkeringat, badanku gemetaran, nafasku pun semakin terasa berasa berat. Mataku tidak berkedip saat kakek mau membuka kotak hitam itu. Dan …

Krieeeettt ….

‘’Ini lho lee … kakekmu dulu dapet oleh-oleh dari Bapakmu. Tapi, Kakek nggak ngerti cara Makainya.’’ ujar kakek sambil mesam mesem.

‘’Huft ….’’ aku menghelela nafas panjang.

Pupus sudah rasa tegangku yang sudah aku tahan sejak dari tadi. Benda dalam bungkusan plastik itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Masih terbungkus rapi dan masih kelihatan baru, merknya ‘’Raket Nyamuk Sinyoku’’.

''Hadieh ... capek deehh ... kirain apaan.'' ujarku dalam hati sambil senyam senyum

‘’Bisa di pakai nggak, lee?’’ tanya Kakek.

‘’Bisa … bisa … Kek!’’ jawabku dari dalam kamar.

Tanpa menunggu lama, nyamuk-nyamuk yang berada di kamarku aku serang habis-habisan.

Tak … tak .. tak …
Tak … tak … tak …

Nyamuk-nyamuk yang menggigitku tadi malam itu pada kojor, mati bergelimpangan kena strum raket nyamuk. Ada yang gosong, ada yang kejang-kejang, sampai ada juga yang ancur berantakan.

‘’Mati lu …!!’’ gerutuku karena sewot.

Mungkin karena kesal gara-gara kejadian semalam, aku tidak berhenti begitu saja, aku terus mencari di mana nyamuk itu bersembunyi. Di kolong tempat tidur, di kamar kakek, di ruang tamu, juga di dapur. Setelah ketemu apa yang aku cari, aku pun segera mengeluarkan jurus andalanku.

‘’Ciiiaaattt ….!!’’

Tak … tak .. tak …
Tak … tak … tak …

Saat aku memeriksa dapur ada tawon terbang berputar-putar di atas kepalaku. Tanpa menunggu lama aku ayunkan raket nyamuk itu ke arah tawon itu. Tapi, tawon itu ternyata gesit sekali gerakannya, sampai nafasku dibuatnya ngos-ngosan .

‘’Awas lu …!!’’

Saat aku amat-amati ternyata tawon itu bersarang di dekat talang air dapur. Kurang lebih ada 6 ekor tawon nangkring di sarang itu. Tanpa ba-bi-bu aku ayunkan raket nyamuk itu tepat di sarang tawon itu. Tapi, bukannya mati, tawon itu malah pada nembel di kawat raket nyamuk itu.

‘’Lah! Ko’ nggak mati?!’’ ujarku dalam hati sambil menggoyang-nggoyangkan raket itu.

Aku periksa lampu yang berada di gagang raket nyamuk itu mati dan tidak mau menyala setiap kali aku nyalain saklarnya. Ternyata baterenya habis, pantas saja tawon itu nggak mau mati. Dan, inilah akibatnya.

Nggggg … nggggg …

‘’Tolooong ….!! Kakeeekkk … tolooong …!!’’ jeritku karena panik ketakutan.

Tawon-tawon itu berterbangan ke arahku, nemplok tepat di kepalaku kemudian ngantup jidatku berulang kali.

‘’Waaa ….!! Tolooong … kek … tolooong …!!’’ aku menjerit kemudian berlari ke halaman rumah.

Kakek datang menolongku, kemudian mengambil sapu lidi didapur lalu menghalau tawon-tawon itu supaya pergi.

‘’Kenapa bisa di antup tawon begini to, lee? Kamu ganggu, ya?’’ tanya kakek sambil mengoles minyak gosok tepat di jidatku yang kena antup.

‘’Iya, Kek.’’ jawabku sambil meringis-ringis kesakitan.

‘’Itu tawon kemit. Klo nggak diganggu tawon itu nggak mau ngantup.’’ ujar kakek.

Aku diam saja dan hanya bisa mengangguk pasrah. Akibat kejadian itu semalaman aku tidak bisa tidur, kepalaku jadi benjol benjol, ada 5 benjolan sebesar biji bakso yang nangkring tepat di jidatku.

‘’Ah, mudik kali ini sungguh mengesankan.’’

- Oleh : Satrio ‘si juragan kodhok’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar