Minggu, 20 Juli 2014

Kereta Terakhir

Pagi ini, putri bapak petani terlihat sibuk mengemasi baju-baju kumalnya. Sambil bernyanyi riang, satu persatu baju-baju itu dimasukkannya ke dalam kardus bekas indomie. Hatinya tak sabar ingin selekasnya pergi, demi menggapai sebuah impian yang selama ini ia dambakan. Pergi bekerja merantau ke kota demi meringankan beban orang tua. Dia ingin sukses, ingin berhasil, seperti teman-temanya yang lebih dahulu berangkat ke sana. Mereka bisa membangun rumah megah, membeli petakan sawah, membeli baju baru, perhiasan, handphone dan lain sebagainya.

‘’Wah … Sangat menjanjikan.’’ tanpa sadar putri bapak petani itu senyum-senyum sendiri membayangkan itu semua.

“Aku akan kaya! Aku akan sukses! Tidak akan ada lagi yang merendahkan keluargaku. Tekadku sudah bulat! Aku akan pergi! Yaa ... Aku harus pergi!’’ ujarnya dalam hati sangat bersemangat.

‘’Ah, seandainya saja aku bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi, tidak mungkin aku bisa sampai kesulitan mencari pekerjaan seperti ini. Aku bisa jadi dokter, bisa jadi guru, pengusaha, pilot, petani yang sukses, atau seenggak-enggaknya aku mampu bekerja dan berkarya di desaku sendiri. Tapi, lagi-lagi semua itu terkendala oleh biaya. Orangtuaku hanyalah petani miskin, mana mampu menyekolahkan aku. Dan aku sebagai putri yang berbakti aku harus sadar, ikhlas dan nerimo dengan semua itu.’’ ujar gadis itu dalam hati sambil menghela napas panjang.

Sebelum berangkat, putri bapak petani itu sembah sungkem kepada orangtuanya untuk memohon do’a restu.

“Bapak …Ibuu … Ananda nyuwun pamit, nyuwun doa restune bapak lan ibu mugi-mugi gangsar rejekine.’’

“Nduk cah ayu …nek kerjo seng ati-ati yo, nduk? Pesen bapak tetepo jujur , ojo lali ngaji lan sholat limang wektu.’’ jawab sang bapak sambil mengusap-usap rambut putrinya.

Putri bapak petani itu mengangguk diam, air matanya tak terasa menetes dan tenggorokanya terasa tersumbat. Hari ini dia harus pergi meninggalkan orang-orang yang ia cintai.

Tapi, apa yang terjadi selanjutnya?

Sesampainya di kota semua impian itu musnahlah sudah. Nasipnya tidak beruntung, dia mendapat majikan yang tidak baik, setiap pekerjaan yang dia lakukan selalu salah dan sebagai balasanya tubuhnya yang lemah itu dihajarnya sampai babak belur, disiksa bagaikan seorang pesakitan.

''Dasar bodoh! kalau nggak ngerti tanya …! Kamu di sini saya suruh bekerja! Bukan bertindak semaunya sendiri! Gajimu bulan ini saya potong! Dasar bodoh …!’’ bentak sang majikan tanpa kenal ampun.

Meski mendapat perlakuan seperti itu, gadis itu tetap diam dan tidak berani melawan. Ketidakmampuannya membuatnya minder, merasa kecil, merasa kerdil, dan hanya bisa tertunduk pasrah.

‘’Ya alloh ya Tuhanku … Ampuni dosa-dosa hambamu ini! Lindungi hamba ya Alloh … Kenapa hamba harus hidup seperti ini? Kenapa nasip hamba seperti ini ya Alloh … Sedangkan Orangtua hamba tidak pernah sedikitpun berbuat kasar terhadap hamba!’’ jeritnya lirih dalam hati

Dalam keheningan malam, gadis itu menangis meratapi kesedihannya. Bersujud khusuk di atas sajadah lusuh bergambar masjidil aqsa.

''Ya Alloh …
katakanlah …
bahwa yang hamba alami ini adalah mimpi

katakanlah …
bahwa ini hanya khayalan hamba

katakanlah …
bahwa ini bukan realita

Sesungguhnya, apabila ini realita untuk menguji iman hamba
pasti akan hamba terima.

apabila ini hanya cobaan
semuanya pasti akan hamba hadapi

Hamba yakin dan selalu percaya, engKau akan selalu memberi jalan terbaik untuk hamba, membimbing langkah dan memudahkan jalan hamba, hingga hambamu ini tersenyum kembali.
*

Malam semakin larut dan membisu, desah angin hadirkan rintihan gerimis. Dalam sujud syukurnya, sang gadis itu menghembuskan napas terakhirnya. Meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Namun, ada bau wangi menyeruak di dalam ruangan itu, harum, seharum bunga kasturi. Melayang bersama ruh dan impian yang suci.

- Oleh : Satrio Damar Setiadji ‘’Si juragan kodhok’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar