Kamis, 05 Maret 2015

Gending Katresnan 4

Semenjak kecil, aku tinggal bersama kakekku di sebuah desa kecil, letaknya di desaTawang harjo, sebelah selatan kabupaten wonogiri. Rumah kakek sangat jauh dari tetangga dan keramaian. Karena saking jauhnya dengan tetangga aku sering bermain sendirian di rumah. Mencari ikan di kali, mencari burung atau terkadang mencari sarang lebah madu di sekitar rumah kakek.

Sepulang dari sekolah biasanya aku langsung membantu kakek bekerja di ladang. Mencari rumput, kayu bakar, ngangon kambing, juga menunggu burung emprit pemakan padi. Sore harinya bermain layang-layang di halaman rumah sambil menikmati potongan tebu.

Karena didikan kakeklah menjadikan aku seorang anak yang rajin dan pemberani. Aku tidak takut menangkap ular berbisa, memburu garangan yang mengejar-ngejar anak ayam, atau pergi ke tengah hutan sendirian. Tapi, aku juga sering kena celaka akibat keberanianku ini, sering ceroboh karena rasa penasaran yang berlebihan.

Suatu ketika, aku di ajak paklek mencari lebah madu di pinggiran kali krakal. Kebetulan di sana ada sarang lebah madu yang lumayan besar, cuma letak sarangnya itu sangat sulit untuk di jangkau tangan manusia, berada tepat di ujung pohon yang telah mati. Pohon itu menjorok ke tengah kali yang lumayan dalam airnya, membuat siapa pun orang enggan untuk memanjatnya.

‘’Berani manjat nggak, lee?’’ ujar paklek mengagetkan lamunanku.

‘’Berani, paklek!’’ jawabku sedikit tertantang.

‘’ Tapi, banyak semutnya?’’ ujar paklek mengingatkan.

‘’Sudah kebal sama semut!’’ jawabku sambil cengengesan.

Kemudian, aku buka kaos lusuh kesayanganku. Kaos bola lusuh bernomor 10 bertuliskan maradona itu pemberian saudara yang datang dari Jakarta. Aku sangat menyukainya, karenanya aku selalu memakainya setiap hari.

Tanpa menunggu-nunggu lama, aku segera memanjat pohon itu dengan sangat hati-hati. Ranting-ranting kecil aku jadikan sebagai pijakan kaki. Semut-semut rangrang yang terusik karena keberadaanku mulai menggigit badanku, tapi aku tidak menghiraukannya.

Sesampainya di puncak pohon tua itu, aku terkejut dan sedikit kecewa. Ternyata lubang lebah madu itu telah kosong dan tidak ada tawon madunya. Aku longok-longok lubang itu, sangat gelap di dalamnya, tapi lagi-lagi tidak ada apa-apa di sana.

‘’Paklek …, Sudah kosong sarangnya?’’ ujarku pada paklek yang berada di bawah.

‘’Masak sih, lee? Kemarin sore masih ada, kok!’’ jawab paklek meyakinkan aku.

‘’Bener …! Tuh lihat! Nggak ada apa-apa di dalamnya!’’ ujarku lagi.

‘’Coba disodok pakai ranting kecil, lee?’’ saran paklek.

Kemudian, aku ambil sebatang ranting kecil yang telah kering . Lalu, aku sodok lubang lebah madu itu dengan kerasnya. Dan, inilah akibat kecerobohanku….

‘’Pakleeekkk ..., Tawonnya keluar semuaaa ...!!’’ aku mulai panik dan sangat ketakutan.

Beribu-ribu tawon lebah madu keluar dari sarangnya. Mengamuk membabi buta, menyerangku, mengantup seluruh badanku. Tiap kali lebah madu itu menyengatku, badanku jadi bergoyang-goyang seperti kalau orang di cubitin sana sini. Kedua tanganku sibuk menghalau lebah yang hinggap di badanku.

‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’ teriakku menahan kesakitan akibat di antup tawon.

‘’Cepaat turun, leee …!!

Aku pun segera turun dari pohon itu sambil menahan sengatan lebah. Sesampainya di bawah aku langsung berlari sekencang-kencangnya, karena lebah-lebah madu itu masih tetap menyerangku dan mengejarku.

‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’

Di bawah pohon kelapa aku berhenti berlari dan terkapar tak berdaya. Nafasku ngos-ngosan, seluruh badanku rasanya sakit semua. Sisa antupan lebah berwarna putih itu tidak ada habisnya di cabutin paklek dari badanku. Mungkin kalau di hitung, ada ratusan lebih lebah madu itu mengantupku.

Lebah madu liar, warnanya hitam bergaris kuning kecoklatan. Biasanya, satu kali antupan bisa membuat badan jadi bengkak. Bisa di bayangkan, bagaimana rasanya kalau di antup ratusan lebah.

Akibat dari kejadian itu, semalaman suntuk aku tidak bisa tidur. Badanku jadi panas dingin seperti orang sakit meriang. Oleh kakek aku hanya di kasih minum air kelapa hijau. Dan, Alhamdulilah, esok paginya aku sudah segar bugar kembali, Cuma bedanya badanku masih terasa sedikit kaku.

Kejadian tragis itu tidak lantas membuatku kapok. Justru inilah awal dari kecerobohanku yang bertubi-tubi.

Sebulan kemudian, saat usai kenaikan kelas 5. Aku dan teman-teman di tugaskan piket membersihkan sekolah dan lingkungan sekolah. Tugasku membersihkan sampah di atas plafon ruang kelas bersama guru olahraga, pak syahrin namanya. Satu per satu sampah-sampah daun kering di atas plafon itu aku turun kan memakai ember, lalu temanku yang berada di bawah membuangnya ke tempat sampah.

Setelah pekerjaanku selesai, pak guru olahraga memanggilku.

‘’Satrio! Bawa embermu ke sini? Temani bapak naik ke atas plafon guru!’’

‘’Njeh, Pak.’’

Kemudian, aku bersama Pak guru naik ke atas plafon itu. Sesampainya di atas plafon, ternyata pak guru mau mengambil lebah madu. Lebah madu itu tepat berada di lubang angin, bentuknya memanjang dan banyak sekali lebah madunya. Pak guru mengambil tala madu itu, lalu menaruhnya di ember yang aku pegang. Setelah ember itu penuh tala madu, pak guru pun segera mengajakku untuk turun.

Setelah sampai di bawah, rasa penasaranku kembali muncul. Aku juga ingin seperti pak guru, mengambil madu dari atas plafon itu. Keinginan hatiku sangat kuat, karena melihat tala madu yang demikian banyaknya. Kemudian, dengan mengendap-endap, aku mengambil kantong kresek hitam dari dapur sekolahan lalu naik lagi ke atas plafon itu.

Sesampainya di sana di atas plafon itu, aku segera mendekati sarang lebah madu itu. Hatiku rasanya deg-degkan tidak karuan, antara takut, berani dan juga rasa penasaran yang sangat tinggi. Perlahan-lahan aku tarik tala madu itu, tapi tidak juga mau terlepas. Semakin kuat aku menariknya, tapi tetap saja tala lebah madu itu tidak mau terlepas. Tiba-tiba, saat aku ingin menariknya kembali, satu ekor lebah madu menyerangku. Seketika aku panik dan berusaha lari menghindar, tanpa sadar kalau aku sedang berada di atas plafon guru. Dan ….

‘’Aaaaa ...!!’’

‘’Gubraaakkk ….

Atap plafon eternit itu amblas terinjak kakiku dan aku jatuh njeblos ke bawah. Untungnya tangan kananku sempat meraih kayu plafon sehingga aku tidak sampai jatuh ke lantai.

‘’Tolong saya Pak Guru!’’ teriakku masih dalam keadaan gelantungan seperti tarzan.

Aku panik, antara takut terjatuh juga takut dimarahi oleh pak guru. Beberapa saat kemudian Bapak guru dan teman-temanku yang lain menolongku.

Sekujur tubuhku babak belur, mulai dari kepala, tangan, sampai kakiku lecet-lecet semua. Pak Guru Olahraga dengan sabar mengobati lukaku sambil menasehatiku.

‘’Arep ngopo kowe munggah meneh?’’ tanya Pak Guru.

Aku menjawab dengan sedikit gemetaran karena takut dimarahi.

‘’Ajeng ngunduh tala madu, Pak.’’

‘’Arep mbok nggo opo?’’ tanyanya lagi.

‘’Niate madune ajeng didum kaleh rencang-rencang.’’ jawabku sambil mesam-mesem.

‘’Ngambil tala madu iku kudu nganggo iki.’’ ujar Pak Guru sambil tangannya nunjuk ke kepalaku.

‘’Njeh Pak Guru.’’ jawabku manggut-manggut.

‘’Nanti kapan-kapan Bapak ajari, ya? Sekarang kamu pulang saja, biar diantar temn-temanmu.’’ lanjut Pak Guru.

Sesampainya di rumah aku dimarahin kakek, beliau menasehatiku habis-habisan.

‘’Thole, sebagai murid yang baik, kamu tidak boleh berlaku nekat seperti itu. Kudu nganggo toto kromo. Kalo tidak disuruh jangan ngambil sendiri yang bukan hakmu, itu namanya ora ilok!’’

Aku diam saja tidak berani bersuara, hanya bisa mengangguk pasrah, sambil meringis-ringis menahan sakit.

Siang itu kakek tidak jadi pergi ke ladang, dengan penuh kasih sayang beliau membuatkan ramuan obat untukku. Aku semakin sadar, aku memang salah, telah mengecewakan orang-orang yang menyayangiku.

‘’Cucumu yang nakal ini minta maaf ya, kek.’’ ujarku dalam hati menyesali diri.

Sore harinya, kakek terlihat sibuk di samping rumah. Tapi, aku belum bisa membantu beliau karena badanku masih terasa sakit. Tidak berapa lama kemudian, ada asap putih mengepul dari samping rumah. Dari bau asap itu aku tau, pasti itu asap dari kembang koler (kembang kluwih/nangka jawa).

Saat aku mendekat, aku melihat kakek meniup-niup asap itu ke a rah lubang gelodokan tawon madu. Semakin banyak asap yang keluar, semakin banyak pula tawon-tawon yang keluar dari sarangnya. Setelah tawonnya berkurang, satu-persatu tala madu itu diambil kemudian di taruh di atas tampah (tempat dari anyaman bambu).

Kakek memang memelihara tawon madu, ada dua gelodokan, semuanya terbuat dari batang kelapa yang dilubangin tengahnya. Tapi, lebah madu itu jarang sekali di unduh, kalau ada orang yang meminta baru kakek mengambilnya.

‘’Thole! Ambilin botol bekas sirup di atas meja.’’ ujar kakek sambil membersihkan sisa-sisa tawon yang masih melekat di tala madu.

‘’Iya, Kek.’’

Kemudian, satu-persatu tala madu itu diperas menggunakan kaos bekas, lalu di masukkan ke dalam botol sirup. Setelah selesai, madu yang sudah tertuang di dalam botol itu diberikan kepadaku.

‘’Nih, buat kamu semua. kalau kamu pengin opo-opo bilang sama kakek. Jangan berbuat seperti itu lagi.’’ ujar kakek.

‘’Nggeh, kek.’’

Aku ambil botol madu itu dengan perasaan senang sekali, isinya hampir sebotol penuh, warnanya bening kecoklatan, kental sekali.

‘’Coba kamu rasain manis nggak, lee?!’’ ujar kakek lagi sambil tersenyum.

Perlahan-lahan aku buka tutup botol sirup itu, lalu aku celupin jari telunjukku kemudian aku jilat.

‘’Hnggg … Manis banget, kek! Manis banget!’’ ujarku kegirangan.

Semenjak itu, setiap mau tidur atau berangkat sekolah aku selalu minum dua sendok madu tawon. Terkadang aku campur dengan singkong rebus, sungguh rasanya enak sekali.

( bersambung )
- Oleh : Satrio ‘si jragan kodhok’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar