Kamis, 29 Desember 2016

Gending Katresnan.

 


Wonogiri 1990 memasuki musim semi.

‘’Krik … krik … kriik …

Suara si jlitheng jangkrik kesayanganku terdengar nyaring di telingaku. Suaranya semakin mengeras setiap kali kepalanya aku kilik menggunakan batang rumput. Rahangnya yang kuat siap melawan musuh-musuh yang menjadi penantangnya.

Ini permainanku saat musim semi tiba, adu jangkrik. Biasanya, sehabis shalat subuh aku langsung nyari jangkrik di kebun, di sawah, atau di bawah tumpukan batu di dekat rumah Simbah. Setelah dapat, jangkrik itu aku simpan di tempat bambu buatanku sendiri. Sepulang dari sekolah aku baru bisa memainkannya bersama teman-temanku.

‘’Horeee ….!!’’ Aku teriak kegirangan setiapkali jangkrikku menang saat di adu.

Rasanya senang sekali, hingga terkadang aku sampai lupa mengerjakan tugas sekolah.

‘’Thole! ke sini Mbah kasih roti!’’ Mbah putri memanggilku, kemudian memberiku roti biscuit yang terbungkus kertas Koran bekas.

‘’Wah, enak banget rasanya. Yang ngasih roti siapa, Mbah?’’ tanyaku penasaran.

‘’Bu Slamet, anaknya baru datang dari Jakarta. Tadi pagi ke sini, mau minta tolong dicarikan daun pisang.’’ jawab simbah sambil menuangkan segelas air putih untukku.

‘’Bu Slamet baik ya, Mbah?’’ tanyaku dengan mulut penuh biscuit.

‘’Alhamdulilah … Hari ini Tuhan masih memberikan rezeki untuk kita.’’ jawab simbah.

‘’Jadi orang kaya enak ya, Mbah? Mau makan apa saja ada.’’ tanyaku lagi sambil membungkus kembali sisa biscuit yang aku makan.

‘’Thole, kamu jangan pernah bersedih dan jangan penah sekalipun kamu mengeluh. Kita nikmati saja rejeki hari ini dengan penuh rasa syukur. Ketahuilah Thole! kemewahan dunia itu hanya titipan, sifatnya hanya sementara. Harta semata-mata hanya titipan. Sebanyak dan semewah apapun kekayaan kita, tidak akan ada gunanya disaat Allah swt memanggil kita. Hanya iman dan taqwalah yang akan membekali kita di kehidupan yang tiada akhirnya, yaitu ahirat. Semoga disuatu hari nanti, jika kamu sudah besar, kamu akan mengerti apa yang Mbah ucapkan.’’ jawab Mbah Putri sambil mengelus-elus rambutku, memberi petuah bijak dan mengajarkan aku tentang arti hidup di dunia ini.

Aku pandangi wajah renta simbahku. Rambutnya yang telah dan semakin memutih dan badan serta lengan yang tak lagi kuat seperti dulu. Beliau tetap tegar dan sabar, merawatku dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang.

‘’Thole, jangan lupa shalat dan pergi mengaji. Belajar ibadah yang rajin, biar kamu jadi anak Sholeh.’’ itulah nasehat Simbah yang selalu terucap setiap hari.

Kini aku sudah besar dan menetap di kota Jakarta. Malam ini tepat malam terakhir bulan puasa Ramadhan. Suara takbir menggema melalui corong-corong Masjid dan Mushola di dekat rumahku. Aku bersimpuh sujud di atas sajadah bergambar masjid Al Aqsa. Air mataku perlahan menetes deras, menangis sesenggukan, merindukan tubuh renta yang kini telah tiada.

Oleh : Satrio Damar setiadji
(Cerpen : Gending katresnan lll)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar