Namaku
Satrio, pemuda kampung berambut kriting yang mendadak jadi demen batu cincin.
Sudah tak terhitung jumlah batu cincinku, koleksiku banyak sekali. Mulai dari
bacan, rubi, duri bulan, kecubung, dan lain sebagainya. Hobby baruku ini bermula
ketika berkenalan dengan seorang pedagang batu mulai dari rawa bening, Bang
Rojali namanya.
‘’Mau
ikut nggak, Mas?’’ ajak Bang Rojali.
“Nggak,
ah! Lagi males.’’ Jawabku kalem.
‘’Emang
mau ke mana, Bang?’’ tanyaku.
‘’Ke
Bogor nyari batu.’’ Jawabnya.
‘’Batu
yang rame diberita tv itu, Bang?’’ tanyaku lagi.
‘’Iya,
mau ikut nggak? Klo mau buruan, keburu sore!’’ jawabnya sambil masuk-masukin
peralatannya ke dalam mobil.
‘’Wokey
dah klo begitu!’’
Beberapa
saat kemudian mobilnya sudah melaju di keramaian jalan raya. Hari ini lumayan
padat lalu-lintasnya, jalanan menjadi macet, panas, suara klakson terdengar
bersahut-sahutan. Kepalaku mulai pusing, badanku basah kuyup berkeringat, mobil
butut tanpa ac itu terpaksa aku buka lebar-lebar kaca jendelannya.
Akhirnya,
tepat jam 16 : 30 sampai juga di tempat yang aku tuju. Tempatnya lumayan ramai,
pencari batu semuanya. Buru-buru aku turun dari mobil membantu Bang Rojali
menurunkan peralatannya.
‘’Mau
nyari batu di sebelah mana, Bang?’’ tanyaku.
‘’Itu
yang di deket pohon besar.’’ Jawab Bang Rojali sambil nunjuk ke arah pohon
besar yang jaraknya tidak begitu jauh.
Tak
lama kemudian kami berdua pun mulai sibuk mencari batu. Bang Rojali sibuk
mencahin batu menggunakan hammer besar, aku sibuk nyongkelin batu menggunakan
linggis kecil.
‘’Batunya
keras banget, Bang!’’ ujarku sambil terus nyongkelin batu.
‘’Klo
yang empuk namanya bukan batu, Tong! Tapi, dodol …!!’’ jawab Bang Rojali sambil
ketawa.
Saat
aku mengayunkan linggis kecilku ke arah celah batu, linggisku seperti
menghantam sesuatu.
‘’Praang
…
‘’Waduh!
Apaan nih?!’’ ujarku dalam hati.
Pelan-pelan
aku congkelin batuan keras itu, sedikit-demi sedikit, semakin lama semakin
terlihat benda yang aku hantam linggis tadi. Setelah aku amat-amati dengan
seksama, ternyata benda itu mirip sekali dengan teko tempat air.
‘’Wah,
barang kuno kayaknya.’’ Ujarku lagi dalam hati.
Aku
bersihkan tanah batuan yang masih menempel di benda itu, tapi kotorannya tak
mau hilang, susah sekali dibersihkan. Sepertinya benda itu sudah berabad-abad
usianya, terlihat dari wujud anehnya yang jarang aku temui.
‘’Bang,
aku nemu barang aneh?’’ tanyaku pada Bang Rojali yang masih terlihat sibuk.
‘’Dapet
barang apaan, lu!’’ jawabnya.
Kemudian,
Bang Rojali memeriksa benda yang aku temukan itu. Benda itu di amatinya dengan
seksama, ditimang-timang, kemudian diserahkan kembali padaku.
‘’Kayak
barang antik!’’ ujarnya.
‘’Mirip
tempat air ya, Bang?’’ tanyaku penasaran.
‘’Coba
lu cuci di kali di bawah sana itu!’’ saran Bang Rojali sambil nunjuk ke arah
kali kecil yang jaraknya lumayan jauh.
‘’Iya,
Bang.’’ jawabku sambil mengangguk pelan.
Aku
bangkit berdiri, kemudian pergi bergegas ke kali kecil itu. Sesampainya di sana
aku segera membersihkan benda itu. Setelah aku cuci bersih menggunakan rumput
kering, benda itu kelihatan warna aslinya, bagus sekali, mengkilat, berkilauan
seperti perak.
‘’Wah,
ini pasti barang antik!’’ ujarku dalam hati, mengagumi benda yang aku temukan.
Perlahan-lahan
aku lap benda indah itu menggunakan sapu tanganku. Aku gosok terus sampai
kelihatan kinclong. Tapi, disaat aku lagi asik ngelap benda itu sesuatu
terjadi, tiba-tiba benda itu mengeluarkan asap putih. Semakin lama asap yang
keluar dari benda itu semakin banyak, membumbung tinggi, hingga membuat pandanganku
sedikit kabur.
‘’Waaa
…!! …. Apaan tuh ….?!!’’ aku jatuh duduk dan kaget setengah mati.
Reflek,
benda itu langsung aku buang, jatuh tepat di depanku. Aku gemetaran, panik, dan
sangat ketakutan. Tapi, disaat aku masih deg-degkan karena kejadian aneh itu,
tiba-tiba muncul lagi kejadian yang lebih menakutkan. Asap putih yang
membumbung tinggi itu perlahan-lahan membentuk wujud seperti manusia cebol.
‘’Hahaha
… hahaha …
(
Bersambung )
Oleh
: Satrio Damar setiadji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar