Kamis, 29 Desember 2016

Telat Bayar Uang Kost



Kata orang yang udah sukses, ‘’Hidup itu perlu perjuangan, diperlukan usaha keras agar bisa hidup lebih baik’’.

Seperti diriku ini, pemuda miskin yang datang dari desa, ingin mengadu nasib di kota besar. Punya cita-cita ingin jadi orang sukses, agar bisa hidup enak, dan bisa membahagiakan keluarga. Sesampainya di kota bekerja serabutan, karena memang nggak punya keahlian. Bisa dibilang aku ini pekerja kasar atau buruh, maklumlah sekolahku hanya sampai madrasah.

Pertama kali bekerja jadi kuli bangunan, tukang las, ngamen, pembuat roti, servise ac, servise pompa air, crew film, crew ph (production house/tv program), lighting man, set art, tofografi, sampai jadi tukang ukur ( surveyor) yang kerjaannya jalan terus ngukurin jalan.

Yah , namanya juga hidup, pasti banyak suka dukanya. Kadang ada senengnya, kadang ada sedihnya. Pas lagi senengnya kalau habis nerima duit, soalnya bisa beli apa saja. Beli sepatu obralan, beli kaos norak, jajan bakso, beli buku ditukang loak, pergi jalan-jalan ke kota tua, pokoknya bener-bener menikmati hidup.

Pas lagi sedihnya kalau duit habis. Stok beras habis, stok indomie menipis, Aqua galon tinggal sedikit, kreditan belum lunas, uang kos belum dibayar, pokoknya lengkap penderitaan. Kayaknya nggak cukup seminggu kalau mau diceritain.

''Nasir nasir ... eh salah! Nasib nasib ...'' 

Tapi yang paling sedih itu kalau ditagih uang kos, soalnya yang punya galaknya minta ampun. Jadi, kudu pinter nyari alesan, biar nggak kena semprot setiap pagi.

‘’Eh, kau! Mana uang kosnya?’’ tanya Ibu kost.

‘’Yah, saya belum gajian Tant.’’ Jawabku. (pura-pura sedih)

‘’Bah, apa pula kau ini! Sudah waktunya bayar ini!’’ lanjutnya dengan nada sedikit marah.

‘’Iya, Tant. Yang sabar, ya?’’ jawabku lagi.

Aku jadi teringat waktu pertama kali menginjakkan kakiku di kota jakarta ini. Aku turun di terminal pulo gadung kemudian naik bis mayasari bakti jurusan blok m. Di kaca depan samping pak sopir ada tulisan ''Sekejam-kejamnya Ibu tiri masih lebih kejam ibu kota''. Ada benarnya juga, tapi kalau menurutku, ''Sekejam-kejamnya ibu kota, masih lebih kejam Ibu kost-anku kalau lagi nagih uang bulanan''. 

''Hehe ... sedih pokoknya klo diceritain.'' 

Biasanya Ibu kos nagih uangnya selalu tepat waktu, datangnya pagi-pagi sekali. Sebelum dia datang uangnya sudah aku siapin, digulung lalu diikat menggunakan karet gelang.

‘’Eh, kau pakai komputer ya?’’ tanya Ibu kos (dengan logat batak)

‘’Iya, Tant.’’ jawabku.

‘’Tambah 50 rebu!’’ lanjutnya lagi sambil mengulurkan tangannya.

‘’Yah, ko nambah lagi Tant?’’ protestku.

‘’Listrik naik!’’ jawabnya ketus.

‘’25 ribu, ya?’’ tawarku.

‘’Kau pikir itu listrik punya nenek moyang kau!’’ nada suaranya semakin meninggi.

‘’Ya udah ini 25 ribu dulu, sisanya ntar kalau saya udah gajian.’’

‘’ Jangan sampai lupa, ya?’’

Ibu kosku sebenarnya orangnya baik, cuma dulunya dia itu bos mikrolet (angkutan umum). Kalau nagih setoran suka galak sama sopir sopirnya, soalnya banyak sopir yang nilep uang setoran. Sekarang sudah nggak ngurus mikrolet lagi, usahanya ganti kontrakan + kos. Tapi, kebiasaannya masih kebawa kalau mau narikin uang kontrakan, jadi galak kalau ada yang telat bayar.

‘’Eh kau! Tadi kasih uang berapa?’’ tanya Ibu kos.

‘’700 Tant.’’ Jawabku.

‘’Enak aja 700! 70 ribu lagi mana?’’ lanjutnya dengan nada keras.

‘’Yah, nanti tant kalau udah gajian. Uangnya udah kepake.’’ jawabku kalem.

‘’Bah ... apa pula kau ini! Kenapa tadi nggak bilang?!’’

‘’Baru mau bilang Tante udah kabur.’’

‘’Capek aku ...!!’’ keluhnya.

Ibu kosku lalu duduk nggelosor di lantai sambil menghela nafas panjang. Kalau melihat dia seperti ini jadi kasihan sekali, walaupun terkadang suka kesal dibuatnya. Ciri khas perempuan batak dari kampung, tegas, keras, rajin, dan juga pekerja keras. Lucunya, walaupun rumahnya agak jauh dia selalu memilih jalan kaki, padahal mobilnya banyak, motornya juga banyak. Alasannya sih nggak bisa nyopir, nggak bisa bawa motor, katanya jalan kaki aja malah sehat.

''Tante tante ... ada ada aja.''

Rumah kos yang aku tempati ini dekat sekali dengan kantor rw. Itu kantor sering banget dipakai acara pesta nikahan, sunatan, dan lain sebagainya. Dulu kalau belum gajian aku sama temen-temen suka ikut nimbrung makan, maklumlah anak kost. Modal salaman doang perut jadi kenyang. Habis makan pulang, malemnya balik lagi. 

‘’Haha … namanya juga usaha.’’

Jadi anak kost itu kudu kreatif, apalagi kalau menyangkut soal makanan. Makanya, aku ini seneng banget kalau diajak nginep di rumah teman. Soalnya pasti dikasih makan. Makan malam gratis + sarapan gratis.

''Lumayan bisa ngirit pengeluaran.'' 

Kalau beli sayur di warteg minta kuahnya yang agak banyakan, biar nggak keseretan kalau makan. Kalau beli nasi goreng bawa nasi sendiri, maksudnya sih biar ngirit en rada banyakan nasinya.

''Maaf ya, Bang?'' 

Pas mau beli mesam mesem, malu-malu kucing, jadinya malah nggak punya malu. Abang penjualnya yang udah hafal sama kelakuanku cuma bisa cemberut sambil tersenyum kecut.

Mungkin dalam hatinya kesel, ''Dia lagi ... dia lagi!!'' 

‘’Jangan pake kecap ya, Bang?’’ pesenku.

‘’Iya.’’ Jawabnya.

‘’Telornya dicampur.’’ Lanjutku.

‘’Iya.’’ Jawabnya lagi mulai kesel.

‘’Yang pedes?’’ pesenku lagi.

‘’Iya.’’ Jawabnya. Raut mukanya terlihat memerah.

‘’Nggak pake lama?’’ lanjutku lagi.

‘’Iya. Mau pesan apa lagi?!’’ jawabnya sambil melotot ke arahku.

Esok paginya pintu kamar kosku ada yang ngetuk, pas aku buka ternyata seorang gadis. Dia memakai seragam coklat pegawai negeri, sepertinya dia seorang guru.

‘’Cantik nian gadis ini, siapa dia?’’ batinku.

‘’Mas Satrio, ya?’’ tanya gadis itu.

‘’Iya. Ada perlu apa Mbak?’’ jawabku.

‘’Saya anaknya Ibu kost. Disuruh Ibu ngambil uang kost.’’ Lanjutnya.

‘’ Ouw begitu ... sebentar sebentar saya ambil dulu uangnya.’’

‘’Terima kasih.’’

Dalam hatiku, ''Kalau yang nagih cantik begini aku nggak bisa ngomong apa-apa dah! Tapi, kenapa beda sama Ibunya? Bikin deg-degkan aja.'' 

‪Alamaaak … Dang diatusi aha naho rasahon‬ …😊😊😍

Oleh : Satrio Damar Setiadji`

Tidak ada komentar:

Posting Komentar