Senin, 30 Juni 2014

Nyanyian Cinta Si Lebah Madu

Semenjak kecil, aku tinggal bersama kakekku di sebuah desa kecil. Letaknya di desa Tawang harjo, sebelah selatan kabupaten wonogiri. Rumah kakek sangat jauh dari tetangga dan keramaian. Karena saking jauhnya dengan tetangga aku sering bermain sendirian di rumah. Mencari ikan di kali, mencari burung atau terkadang mencari sarang lebah madu.

Sepulang dari sekolah biasanya aku langsung membantu kakek bekerja di ladang. Mencari rumput, kayu bakar, ngangon kambing, juga menunggu burung emprit pemakan padi. Sore harinya bermain layang-layang di halaman rumah sambil menikmati potongan tebu.

Karena didikan kakeklah menjadikan aku seorang anak yang rajin dan pemberani. Aku tidak takut menangkap ular berbisa, memburu garangan yang mengejar-ngejar ayam, atau pergi ke tengah hutan sendirian. Tapi, aku juga sering kena celaka akibat keberanianku ini, sering ceroboh karena rasa penasaran yang berlebihan.

Suatu ketika, aku di ajak paklek mencari lebah madu di pinggiran kali krakal. Kebetulan di sana ada sarang lebah madu yang lumayan besar. Cuma, letak sarangnya itu sangat sulit untuk di jangkau tangan manusia. Berada tepat di ujung pohon yang mati. Pohon itu menjorok ke tengah kali yang lumayan dalam airnya, membuat siapa pun orang enggan untuk memanjatnya.

‘’Berani manjat nggak, lee?’’ ujar paklek mengagetkan lamunanku.

‘’Berani, paklek!’’ jawabku sedikit tertantang.

‘’ Tapi, banyak semutnya?’’ ujar paklek mengingatkan.

‘’Sudah kebal sama semut!’’ jawabku sambil cengengesan.

Kemudian, aku buka kaos lusuh kesayanganku. Kaos bola lusuh bernomor 10 bertuliskan maradona itu pemberian saudara yang datang dari Jakarta. Aku sangat menyukainya, karenanya aku selalu memakainya setiap hari.

Tanpa menunggu lama-lama, aku segera memanjat pohon itu dengan sangat hati-hati. Ranting-ranting kecil aku jadikan sebagai pijakan kaki. Semut-semut rangrang yang terusik karena keberadaanku mulai menggigit badanku, tapi aku tidak menghiraukannya.

Sesampainya di puncak pohon tua itu, aku terkejut dan sedikit kecewa. Ternyata lubang lebah madu itu telah kosong dan tidak ada tawon madunya. Aku longok-longok lubang itu, sangat gelap di dalamnya, tapi lagi-lagi tidak ada apa-apa di sana.

‘’Paklek …, Sudah kosong sarangnya?’’ ujarku pada paklek yang berada di bawah.

‘’Masak sih, lee? Kemarin sore masih ada, kok!’’ jawab paklek meyakinkan aku.

‘’Bener …! Tuh lihat! Nggak ada apa-apa di dalamnya!’’ ujarku lagi.

‘’Coba di sodok-sodok pakai ranting kecil, lee?’’ saran paklek.

Kemudian, aku ambil sebatang ranting kecil yang telah kering . Lalu, menyodok lubang lebah madu itu dengan kerasnya. Dan, inilah akibat kecerobohanku….

‘’Pakleeekkk ..., Tawonnya keluar semuaaa ...!!’’ aku mulai panik dan sangat ketakutan.

Beribu-ribu tawon lebah madu keluar dari sarangnya. Mengamuk membabi buta, menyerangku, mengantup seluruh badanku. Tiap kali lebah madu itu menyengatku, badanku jadi bergoyang-goyang seperti kalau orang di cubitin sana sini. Kedua tanganku sibuk menghalau lebah yang hinggap di badanku.

‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’ teriakku menahan kesakitan akibat di antup tawon.

‘’Cepaat turun, leee …!!

Aku pun segera turun dari pohon itu sambil menahan sengatan lebah. Sesampainya di bawah aku langsung berlari sekencang-kencangnya, karena lebah-lebah madu itu masih tetap menyerangku dan mengejarku.

‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’

Di bawah pohon kelapa aku berhenti berlari dan terkapar tak berdaya. Nafasku ngos-ngosan, seluruh badanku rasanya sakit semua. Sisa antupan lebah berwarna putih itu tidak ada habisnya di cabutin paklek dari badanku. Mungkin kalau di hitung, ada ratusan lebih lebah madu itu mengantupku.

Lebah madu liar, warnanya hitam bergaris kuning kecoklatan. Biasanya, satu kali antupan bisa membuat badan jadi bengkak. Bisa di bayangkan, bagaimana rasanya kalau di antup ratusan lebah.

Akibat dari kejadian itu, semalaman suntuk aku tidak bisa tidur. Badanku jadi panas dingin seperti orang sakit meriang. Oleh kakek aku hanya di kasih minum air kelapa hijau. Dan, Alhamdulilah, esok paginya aku sudah segar bugar kembali, Cuma bedanya badanku masih terasa sedikit kaku.

Kejadian tragis itu tidak lantas membuatku kapok. Justru inilah awal dari kecerobohanku yang bertubi-tubi.

Sebulan kemudian, saat usai kenaikan kelas 5. Aku dan teman-teman di tugaskan piket membersihkan sekolah dan lingkungan sekolah. Tugasku membersihkan sampah di atas plafon ruang kelas bersama guru olahraga, pak syahrin namanya. Satu per satu sampah-sampah daun kering di atas plafon itu aku turun kan memakai ember, lalu temanku yang berada di bawah membuangnya ke tempat sampah.

Setelah pekerjaanku selesai, pak guru olahraga memanggilku.

‘’Satrio! Bawa embermu ke sini? Temani bapak naik ke atas plafon guru!’’

‘’Njeh, pak.’’

Kemudian, aku bersama guru olahraga naik ke atas plafon itu. Sesampainya di atas plafon, ternyata pak guru mau mengambil lebah madu. Lebah madu itu tepat berada di lubang angin, bentuknya memanjang dan banyak sekali lebah madunya. Pak guru mengambil tala madu itu, lalu menaruhnya di ember yang aku pegang. Setelah ember itu penuh oleh tala madu, pak guru pun segera mengajakku untuk turun.

Setelah sampai di bawah, rasa penasaranku kembali muncul. Aku juga ingin seperti pak guru, mengambil madu dari atas plafon itu. Keinginan hatiku sangat kuat, karena melihat tala madu yang demikian banyaknya. Kemudian, dengan mengendap-endap, aku mengambil kantong kresek hitam dari dapur sekolahan lalu naik lagi ke atas plafon itu.

Sesampainya di sana di atas plafon itu, aku segera mendekati sarang lebah madu itu. Hati rasanya deg-degkan tidak karuan, antara takut, berani dan juga rasa penasaran yang sangat tinggi. Perlahan-lahan aku tarik tala madu itu, tapi tidak juga mau terlepas. Semakin kuat aku menariknya, tapi tetap saja tala lebah madu itu tidak mau terlepas. Tiba-tiba, saat aku ingin menariknya kembali, satu ekor lebah madu menyerangku. Seketika aku panik dan berlari menghindar, tanpa sadar kalau aku sedang berada di atas plafon guru. Dan,….

‘’Aaaaaa ...!!’’

‘’Gubraaakkk ….

( Bersambung )

- Salam santun saya ‘’Satrio si juragan kodhok’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar