Semenjak
kecil, aku tinggal bersama kakekku di sebuah desa kecil. Letaknya di
desa Tawang harjo, sebelah selatan kabupaten wonogiri. Rumah kakek
sangat jauh dari tetangga dan keramaian. Karena saking jauhnya dengan
tetangga aku sering bermain sendirian di rumah. Mencari ikan di kali,
mencari burung atau terkadang mencari sarang lebah madu.
Sepulang dari sekolah biasanya aku langsung membantu kakek bekerja di
ladang. Mencari rumput, kayu bakar, ngangon kambing, juga menunggu
burung emprit pemakan padi. Sore harinya bermain layang-layang di
halaman rumah sambil menikmati potongan tebu.
Karena didikan
kakeklah menjadikan aku seorang anak yang rajin dan pemberani. Aku tidak
takut menangkap ular berbisa, memburu garangan yang mengejar-ngejar
ayam, atau pergi ke tengah hutan sendirian. Tapi, aku juga sering kena
celaka akibat keberanianku ini, sering ceroboh karena rasa penasaran
yang berlebihan.
Suatu ketika, aku di ajak paklek mencari lebah
madu di pinggiran kali krakal. Kebetulan di sana ada sarang lebah madu
yang lumayan besar. Cuma, letak sarangnya itu sangat sulit untuk di
jangkau tangan manusia. Berada tepat di ujung pohon yang mati. Pohon itu
menjorok ke tengah kali yang lumayan dalam airnya, membuat siapa pun
orang enggan untuk memanjatnya.
‘’Berani manjat nggak, lee?’’ ujar paklek mengagetkan lamunanku.
‘’Berani, paklek!’’ jawabku sedikit tertantang.
‘’ Tapi, banyak semutnya?’’ ujar paklek mengingatkan.
‘’Sudah kebal sama semut!’’ jawabku sambil cengengesan.
Kemudian, aku buka kaos lusuh kesayanganku. Kaos bola lusuh bernomor 10
bertuliskan maradona itu pemberian saudara yang datang dari Jakarta.
Aku sangat menyukainya, karenanya aku selalu memakainya setiap hari.
Tanpa menunggu lama-lama, aku segera memanjat pohon itu dengan sangat
hati-hati. Ranting-ranting kecil aku jadikan sebagai pijakan kaki.
Semut-semut rangrang yang terusik karena keberadaanku mulai menggigit
badanku, tapi aku tidak menghiraukannya.
Sesampainya di puncak
pohon tua itu, aku terkejut dan sedikit kecewa. Ternyata lubang lebah
madu itu telah kosong dan tidak ada tawon madunya. Aku longok-longok
lubang itu, sangat gelap di dalamnya, tapi lagi-lagi tidak ada apa-apa
di sana.
‘’Paklek …, Sudah kosong sarangnya?’’ ujarku pada paklek yang berada di bawah.
‘’Masak sih, lee? Kemarin sore masih ada, kok!’’ jawab paklek meyakinkan aku.
‘’Bener …! Tuh lihat! Nggak ada apa-apa di dalamnya!’’ ujarku lagi.
‘’Coba di sodok-sodok pakai ranting kecil, lee?’’ saran paklek.
Kemudian, aku ambil sebatang ranting kecil yang telah kering . Lalu,
menyodok lubang lebah madu itu dengan kerasnya. Dan, inilah akibat
kecerobohanku….
‘’Pakleeekkk ..., Tawonnya keluar semuaaa ...!!’’ aku mulai panik dan sangat ketakutan.
Beribu-ribu tawon lebah madu keluar dari sarangnya. Mengamuk membabi
buta, menyerangku, mengantup seluruh badanku. Tiap kali lebah madu itu
menyengatku, badanku jadi bergoyang-goyang seperti kalau orang di
cubitin sana sini. Kedua tanganku sibuk menghalau lebah yang hinggap di
badanku.
‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’ teriakku menahan kesakitan akibat di antup tawon.
‘’Cepaat turun, leee …!!
Aku pun segera turun dari pohon itu sambil menahan sengatan lebah.
Sesampainya di bawah aku langsung berlari sekencang-kencangnya, karena
lebah-lebah madu itu masih tetap menyerangku dan mengejarku.
‘’Tolooong …!! Tolooong pakleeekk …!!’’
Di bawah pohon kelapa aku berhenti berlari dan terkapar tak berdaya.
Nafasku ngos-ngosan, seluruh badanku rasanya sakit semua. Sisa antupan
lebah berwarna putih itu tidak ada habisnya di cabutin paklek dari
badanku. Mungkin kalau di hitung, ada ratusan lebih lebah madu itu
mengantupku.
Lebah madu liar, warnanya hitam bergaris kuning
kecoklatan. Biasanya, satu kali antupan bisa membuat badan jadi bengkak.
Bisa di bayangkan, bagaimana rasanya kalau di antup ratusan lebah.
Akibat dari kejadian itu, semalaman suntuk aku tidak bisa tidur.
Badanku jadi panas dingin seperti orang sakit meriang. Oleh kakek aku
hanya di kasih minum air kelapa hijau. Dan, Alhamdulilah, esok paginya
aku sudah segar bugar kembali, Cuma bedanya badanku masih terasa sedikit
kaku.
Kejadian tragis itu tidak lantas membuatku kapok. Justru inilah awal dari kecerobohanku yang bertubi-tubi.
Sebulan kemudian, saat usai kenaikan kelas 5. Aku dan teman-teman di
tugaskan piket membersihkan sekolah dan lingkungan sekolah. Tugasku
membersihkan sampah di atas plafon ruang kelas bersama guru olahraga,
pak syahrin namanya. Satu per satu sampah-sampah daun kering di atas
plafon itu aku turun kan memakai ember, lalu temanku yang berada di
bawah membuangnya ke tempat sampah.
Setelah pekerjaanku selesai, pak guru olahraga memanggilku.
‘’Satrio! Bawa embermu ke sini? Temani bapak naik ke atas plafon guru!’’
‘’Njeh, pak.’’
Kemudian, aku bersama guru olahraga naik ke atas plafon itu.
Sesampainya di atas plafon, ternyata pak guru mau mengambil lebah madu.
Lebah madu itu tepat berada di lubang angin, bentuknya memanjang dan
banyak sekali lebah madunya. Pak guru mengambil tala madu itu, lalu
menaruhnya di ember yang aku pegang. Setelah ember itu penuh oleh tala
madu, pak guru pun segera mengajakku untuk turun.
Setelah
sampai di bawah, rasa penasaranku kembali muncul. Aku juga ingin seperti
pak guru, mengambil madu dari atas plafon itu. Keinginan hatiku sangat
kuat, karena melihat tala madu yang demikian banyaknya. Kemudian, dengan
mengendap-endap, aku mengambil kantong kresek hitam dari dapur
sekolahan lalu naik lagi ke atas plafon itu.
Sesampainya di
sana di atas plafon itu, aku segera mendekati sarang lebah madu itu.
Hati rasanya deg-degkan tidak karuan, antara takut, berani dan juga rasa
penasaran yang sangat tinggi. Perlahan-lahan aku tarik tala madu itu,
tapi tidak juga mau terlepas. Semakin kuat aku menariknya, tapi tetap
saja tala lebah madu itu tidak mau terlepas. Tiba-tiba, saat aku ingin
menariknya kembali, satu ekor lebah madu menyerangku. Seketika aku panik
dan berlari menghindar, tanpa sadar kalau aku sedang berada di atas
plafon guru. Dan,….
‘’Aaaaaa ...!!’’
‘’Gubraaakkk ….
( Bersambung )
- Salam santun saya ‘’Satrio si juragan kodhok’’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar